Menghirup Nafas Zaman di Warungboto

warung-boto-001Situs Warungboto

 

Idealnya, kebutuhan lahir maupun batin hendaknya mendapatkan pemenuhan secara seimbang agar manusia dapat hidup dengan sehat dan bahagia. Akan tetapi, saat populasi manusia semakin banyak, sementara lahan yang tersisa untuk hunian menjadi semakin sempit, hidup kadang hanya jadi medan pertaruhan untuk bisa memiliki sepetak tanah hunian bagi sekeluarga.  Itu pun diraih kalau perlu dengan mengabaikan banyak aspek batiniah. Kehidupan lalu lebih banyak tersita melulu untuk memenuhi aspek fisik semata. Baca lebih lanjut

Gunung Api Purba Nglanggeran: Kisah Mendaki Investasi

gn-purba-nglanggeran-01 senyum Opoters di Gunung Purba Nglanggeran

Hidup itu mengalir, mengantarkan kita pada peristiwa demi peristiwa, peluang demi peluang. Dan semua yang pernah kita jalani tidaklah sia-sia. Hanya saja, ketika mengalami saat-saat sulit, kita sering lupa, sampai kadang harus mengeluh berkepanjangan. Hal ini sempat menjadikan perenungan ketika kami, komunitas Opoto (Onthel Potorono) menempuh perjalanan ngonthel ke Nglanggeran, sebuah kawasan Gunung Purba di Gunung Kidul yang belum pernah kami kunjungi. Gunung? Benar. Naik sepeda onthel? Betul. Apakah itu rute yang menarik untuk bersepeda onthel? Tentu saja tidak.

Baca lebih lanjut

Borobudur dalam Kehangatan Persahabatan

Opoto-oude-fiets-1

persahabatan bersemi di bawah pohon boddhi

Sepeda onthel barangkali hanyalah sebuah sarana transportasi masa lalu. Meskipun begitu, peranan yang mampu diberikannya rasanya tak berhenti sebatas itu, karena ternyata begitu banyak nilai yang mampu dihadirkan oleh sepeda onthel, di antaranya adalah nilai persahabatan tanpa mengenal perbedaan, sebagaimana kami rasakan saat Opoto (Onthel Potorono) ngonthel bersama menyusuri garis imajiner dari Candi Mendut – Candi Pawon – Candi Borobudur bersama Andre Koopman, Otto Beaujon, dan Alvin Cuvier.

*** Baca lebih lanjut

Jogja Kembali Bersepeda II: Pesta Onthelis Nusantara dan Dunia Para Pria

Opoto-di-JKB2-001

Magangan, kompleks keraton Jogja yang dilalui rute JKB II

Setelah sekian lama demam sepeda onthel mewabah di Indonesia, masihkah kini terdengar gaungnya? Beberapa teman mencoba menganalisa: kita lihat dulu motif kecintaannya seperti apa. Ada yang suka mengendarai sebagai sarana transportasi jarak dekat, ada yang suka merawat dan mengendarai sebagai sarana bergaul di tengah komunitas, ada juga yang suka mengoleksi tetapi teramat sayang untuk dikendarai karena dapat menurunkan nilai investasinya, dan masih banyak lagi motif seseorang mencintai sepeda onthel. Baca lebih lanjut

Pendopo nDalem: Angkringan di Istana Pangeran

gerbang pendopo ndalem

Dalam banyak tayangan acara di televisi, para bangsawan dalam tata kemasyarakatan lama sering dilecehkan secara berlebihan sebagai seorang dengan pandangan dan perilaku feodal yang kolot dan tidak lagi sesuai perkembangan zaman. Padahal, bahkan di zaman modern ini, perilaku feodal juga banyak dipraktikkan di kalangan politisi, pejabat, akademisi, budayawan, bahkan rohaniawan, dan sebagainya. Para oknum yang menganggap dirinya ‘lebih tinggi’ dari sesama, bahkan atas dasar ukuran yang direkanya sendiri itu bisa kita temukan di mana saja.

Mestinya kita tak lupa, betapa dalam perjuangan menegakkan revolusi kemerdekaan yang mencita-citakan kedaulatan di tangan rakyat, seorang raja Yogyakarta justru tampil di depan untuk melindungi dan mengasuh bayi bernama “Indonesia”. Beliau adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang dikenal lekat dengan prinsip mulia: tahta untuk rakyat! Baca lebih lanjut

Candi Sojiwan: Perwujudan Cinta yang Mengatasi Perbedaan

Opoto di candi Sojiwan

Cinta berkali-kali terbukti mampu mengatasi perbedaan. Bukan hanya cinta dan perbedaan pada suami-istri, tetapi juga cinta dan penghargaan atas perbedaan latar belakang, selera, serta pemikiran dalam satu komunitas. Lebih luas lagi, cinta pada Sang Pencipta akan mampu memelihara perdamaian semesta.

Minggu pagi 15 Juli 2012, ketika kami, komunitas Opoto (Onthel Potorono) ngonthel ke utara, perwujudan cinta yang mengatasi perbedaan itu kembali kami temukan di kompleks candi Sojiwan. Ngonthel pada pekan terakhir sebelum Ramadhan menjadikan perjalanan pagi itu terasa sedikit sentimentil. Justru karena kami sengaja meluangkan waktu untuk perjalanan kali ini, maka meskipun hanya berlima, perjalanan kami begitu santai dan tanpa beban. Dengan banyaknya alternatif jalan yang bisa kami lalui, rute perjalanan Potorono-Prambanan yang sudah kami tempuh entah sudah berapa puluh kali itu nyatanya masih mampu memberikan pengalaman perjalanan yang selalu berbeda. Baca lebih lanjut

Sega Nggeneng, Sepeda Onthel, dan Anomali Teori

dapur Mbah Martodiryo: kepulan asapnya dirindukan banyak orang

Teori marketing modern selalu mengajarkan kunci sukses bisnis: lokasi, lokasi, lokasi! Tapi para leluhur kita dahulu  pun tak putus mewanti-wanti: jangan pernah melupakan apa yang menjadi asal-muasal kesuksesanmu. Maka, para penganut bisnis modern pun sibuk berburu lokasi strategis, sementara pengusaha tradisional tetap merawat asset lama mereka.

Kami tidak sedang mempertentangkan antara teori bisnis rasional dengan kearifan tradisional, tetapi hanya mau memberikan sebuah pengantar bagi sebuah pengalaman unik ketika kami, komunitas Opoto (Onthel Potorono) sengaja ngonthel ke kawasan Karanggeneng pada Minggu pagi, 29 April 2012 lalu. Baca lebih lanjut

Parade Onthel Satria: Bersenang-senang a la Bawor

perhelatan onthel sebagai ajang silaturahim

Di Potorono, kami mengenal beberapa istilah untuk aktivitas yang mirip, tetapi sejatinya berbeda orientasi atau takarannya. Misalnya, kami biasa membedakan antara ‘ngepit’ (bersepeda) dengan ‘pit-pitan’ (sepedaan). Yang pertama lebih sebagai proses untuk menuju sesuatu yang akan dilakukan, misalnya bersepeda ke tempat kerja, sementara yang kedua merupakan tujuan itu sendiri: ya bersepeda berkeliling itulah tujuannya. Baca lebih lanjut

Bendungan Grembyangan dan Harmoni Lingkungan

berhenti setiap melihat tempat nan asri…

Minggu pagi yang cerah, saatnya kami berangkat ngonthel penuh gairah. Jika saja tidak melihat fisik kami sebagai manusia dewasa, barangkali agak sulit membedakan antara keceriaan kami saat ngonthel dengan kegembiraan kanak-kanak yang bersepeda menikmati hari libur mereka. Sama-sama spontan, sama-sama riang. Fantasi dan keinginan kami pun barangkali sama banyaknya dengan mereka. Bedanya dari kanak-kanak adalah, kami harus lebih bisa menerima kenyataan bahwa tidak semua yang kami inginkan dapat kami lakukan atau kami dapatkan. Bukankah orang Jawa mengenal jurus ‘mulur-mungkret’. Kami akan mengulur cita-cita dan keinginan sepanjang memungkinkan, tetapi dengan realistis akan segera menariknya ketika membentur kenyataan yang tidak dapat ditolak. Begitulah yang kami lakukan sampai kami mendapatkan posisi paling ideal. Baca lebih lanjut

Gazelle 60 “Seri-1”: Tetap Bernilai di Usia Tua

berkilau di senjakala…

Apa yang terjadi ketika bintang pujaan yang dahulu begitu populer menjadi tua? Meskipun jawabnya tentu beragam, tetapi mungkin saja semua berangkat dari fakta yang seragam: terjadinya penurunan performa, fungsi, bahkan juga nilai. Benarkah menjadi tua berarti berakhirnya segala-galanya?

Pada beberapa bangsa, sikap terhadap warga senior mungkin juga berbeda-beda. Menjadi tua bisa berarti lamban dan harus menyingkir. Menjadi tua bisa juga berarti kaya akan pengalaman sehingga harus dihormati. Seorang teman yang menyelesaikan studi di Jepang sempat bercerita bahwa jika di Jogja orang menakar usia seseorang biasanya cukup dengan melihat penampilan fisik, di Jepang orang tidak sungkan menanyakan langsung usia yang bersangkutan. Informasi akan usia itu penting dalam adat mereka karena akan menentukan panggilan yang tepat bagi setiap orang, juga menentukan siapa yang akan dilayani lebih dulu. Usia seseorang ikut menentukan posisi sosial mereka. Baca lebih lanjut

Fenomena Kalibayem: Ketika Alam Meminta Haknya

Opoto di “telaga tiban” Kalibayem

Di mana bumi dipijak, di situ adat dijunjung. Dahulu, kita begitu mudah memahami dan menyetujui pepatah ini. Saat itu kita memiliki cukup kepekaan untuk menempatkan diri di tengah masyarakat. Disadari atau tidak, di zaman yang semakin mengedepankan hak daripada kewajiban ini, kepekaan mulai luntur. Perlahan kita mulai kurang menghargai keberadaan pihak lain sebagai subjek.

Kita mungkin masih suka berjabatan tangan, tetapi tidak lagi sambil memandang muka. Bahkan, kita jadi sering gegabah melegitimasi pendapat kita sendiri dengan dalih demi kebaikan dan kepentingan orang lain. Padahal, apa yang baik menurut kita belum tentu baik bagi orang lain. Maka hari ini kita menjadi terbiasa menyaksikan maksud-maksud baik saling berlaga di depan kita. Baca lebih lanjut

Serius Bermain di Dusun Pandes

berpose di Pojok Budaya Dusun Pandes, Panggungharjo, Sewon, Bantul

Di zaman yang cenderung mengukur segala pencapaian dengan kaca mata fisik seperti saat ini, hidup serasa terus dilecut oleh cambuk kompetisi tanpa henti. Semua memuja kecepatan, walau tanpa kedalaman. Segala sesuatu yang dinilai lamban akan diasumsikan “tidak produktif” dan harus disingkirkan. Prestasi hanya milik orang-orang yang “serius”, bukan untuk mereka yang masih gemar “bermain-main”. Baca lebih lanjut