Tag Archives: jogja

Gunung Api Purba Nglanggeran: Kisah Mendaki Investasi

gn-purba-nglanggeran-01 senyum Opoters di Gunung Purba Nglanggeran

Hidup itu mengalir, mengantarkan kita pada peristiwa demi peristiwa, peluang demi peluang. Dan semua yang pernah kita jalani tidaklah sia-sia. Hanya saja, ketika mengalami saat-saat sulit, kita sering lupa, sampai kadang harus mengeluh berkepanjangan. Hal ini sempat menjadikan perenungan ketika kami, komunitas Opoto (Onthel Potorono) menempuh perjalanan ngonthel ke Nglanggeran, sebuah kawasan Gunung Purba di Gunung Kidul yang belum pernah kami kunjungi. Gunung? Benar. Naik sepeda onthel? Betul. Apakah itu rute yang menarik untuk bersepeda onthel? Tentu saja tidak.

Baca lebih lanjut

Borobudur dalam Kehangatan Persahabatan

Opoto-oude-fiets-1

persahabatan bersemi di bawah pohon boddhi

Sepeda onthel barangkali hanyalah sebuah sarana transportasi masa lalu. Meskipun begitu, peranan yang mampu diberikannya rasanya tak berhenti sebatas itu, karena ternyata begitu banyak nilai yang mampu dihadirkan oleh sepeda onthel, di antaranya adalah nilai persahabatan tanpa mengenal perbedaan, sebagaimana kami rasakan saat Opoto (Onthel Potorono) ngonthel bersama menyusuri garis imajiner dari Candi Mendut – Candi Pawon – Candi Borobudur bersama Andre Koopman, Otto Beaujon, dan Alvin Cuvier.

*** Baca lebih lanjut

Sega Nggeneng, Sepeda Onthel, dan Anomali Teori

dapur Mbah Martodiryo: kepulan asapnya dirindukan banyak orang

Teori marketing modern selalu mengajarkan kunci sukses bisnis: lokasi, lokasi, lokasi! Tapi para leluhur kita dahulu  pun tak putus mewanti-wanti: jangan pernah melupakan apa yang menjadi asal-muasal kesuksesanmu. Maka, para penganut bisnis modern pun sibuk berburu lokasi strategis, sementara pengusaha tradisional tetap merawat asset lama mereka.

Kami tidak sedang mempertentangkan antara teori bisnis rasional dengan kearifan tradisional, tetapi hanya mau memberikan sebuah pengantar bagi sebuah pengalaman unik ketika kami, komunitas Opoto (Onthel Potorono) sengaja ngonthel ke kawasan Karanggeneng pada Minggu pagi, 29 April 2012 lalu. Baca lebih lanjut

Burgers Deventer: Andai Aku Menjadi….

Andai sepeda-sepeda onthel itu bisa bicara, alangkah banyak cerita yang bisa didapatkan dari mereka. Baik tentang proses produksi, tentang strategi pemasaran dan distribusi saat itu, juga tentang pemilik yang tentu sudah berganti sekian kali selama beberapa generasi. Karakter pemilik, status sosial, lingkungan, serta perlakuan yang berbeda telah mewarnai sepanjang kehadiran sepeda onthel kita. Lalu, adakah tragedi, saat sebuah pembalikan keberuntungan menimpa sepeda-sepeda tsb? Semua bergantung bagaimana kita merawat dan menilainya.

Burgers Deventer Pasturan

Lihatlah sepeda Burgers dames (wanita) spesial ini. Kata spesial harus ditambahkan, karena Burgers dames ini memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh sepeda Burgers dames pada umumnya. Burgers dames sendiri sebenarnya sudah memiliki keistimewaan pada keberadaan pipa dobel yang menyangga frame lengkungnya, meskipun model seperti ini juga ditemukan pada beberapa merek sepeda lain seperti Gruno, Güricke, bahkan Simplex. Adanya dua penyangga ini membuat frame lebih kokoh dan stabil, termasuk ketika harus membawa beban berat. Baca lebih lanjut

Simplex Cycloide Tromol: Berat di Awal, Melaju Kemudian.

Di antara sekian banyak sepeda onthel yang beredar di Indonesia, sebagian adalah produksi Belanda. Di antara pabrikan sepeda Belanda, salah satunya adalah Simplex. Di antara sekian model sepeda Simplex, salah satu yang menjadi favorit adalah Simplex Cycloide. Dan, di antara sekian Simplex Cycloide, varian rem tromol banyak diburu orang. Begitulah, selera individu yang sedemikian kompleks telah banyak memberi warna dalam dunia peronthelan.

Simplex Cycloide rem tromol

Setiap orang seperti memiliki alasan sendiri-sendiri untuk menyukai atau tidak menyukai produk, model, atau varian tertentu. Beberapa produk terkenal dari pabrikan besar kadang membuat seseorang penasaran untuk memilikinya, tetapi selanjutnya selera pribadi tadilah yang akan menjadi penentu utama.

Baca lebih lanjut

Gazelle X-Frame ‘Seri-10’: Keindahan yang Tak Biasa

Manusia tak hanya punya akal, tetapi juga perasaan. Maka, alasan seseorang untuk menyukai, mencintai, menolak, bahkan antipati tak selalu sepenuhnya rasional, kadang bahkan emosional. Itupun, tak ada yang bisa menjamin akan berlaku selamanya. Sebuah pengalaman kecil yang membawa pemahaman baru kadang mampu mempengaruhi selera dan kesan yang telah ada sebelumnya, kalau perlu secara ekstrem. Begitu pula selera kita dalam hal sepeda onthel.

Gazelle cross frame di dusun Potorono: dari sawah turun ke hati…

Secara umum, banyak onthelis begitu suka pada merek Gazelle karena alasan yang berbeda-beda. Ada yang karena kenyamanannya saat dikendarai, ada yang memandangnya lebih menguntungkan dari segi investasi, ada yang semata-mata suka pada gambar kijang yang menjadi logonya. Di sisi lain, banyak juga yang tergila-gila pada sepeda model cross frame –apa pun mereknya– lebih karena alasan kelangkaan, antik, gagah, atau karena relatif mudah dikendarai daripada sepeda pria. Meskipun begitu, apakah lantas ada jaminan bagi kedua kelompok onthelis tadi untuk otomatis menyukai sepeda Gazelle cross frame? Belum tentu, karena masih banyak penyimpangan yang mungkin ditemukan pada penampilan sepeda-sepeda tua tersebut. Sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan beberapa orang yang semula kurang suka sepeda cross frame karena terkesan ribet, justru bisa saja langsung jatuh cinta! Baca lebih lanjut

Mbah Pudjo Sadel: Saya Menjual Orang!

Apa yang paling menentukan kenyamanan saat mengendarai sebuah sepeda onthel? Jawaban atas pertanyaan ini barangkali masih bisa beragam. Mbah Pudjo Hartono (76 tahun) yang tinggal di dusun Gading, Donokerto, Turi, Sleman, Jogja, memilih salah satu dari beberapa jawaban yang ada: sadel!

sadel: salah satu kunci kenyamanan ngonthel

Berdasarkan pilihan jawaban itu pula Mbah Pudjo menjalankan profesinya. Lebih dari 60 tahun ia menekuni kegemarannya sejak kecil, yaitu memperbaiki sadel-sadel yang rusak. Dengan jam terbang selama itu, ia bahkan hapal jenis-jenis sadel dari berbagai merek sepeda onthel yang beredar di Indonesia. Meskipun begitu, setiap akan menjawab pertanyaan seputar sadel ia masih merendah dengan mengatakan bahwa ia akan menjawab dan melayani permintaan “sakgadug kulo” (semampu saya). Baca lebih lanjut

Kampung Wisata Tembi: Ketika Dunia Menyempit

Pada kebanyakan orang, mengunjungi tempat-tempat bermain semasa kecil selalu membangkitkan kegairahan. Biasanya, menapaki tempat-tempat penuh kenangan yang di dalam ingatan dahulu sangatlah luas, kini serasa begitu kecil. Mungkin, telah terjadi perubahan skala saat langkah kaki kita sekarang tak lagi sependek dan semungil masa kecil dahulu.

masa kecil telah berlalu, tapi kami masih suka bermain seperti dulu

Senyatanya, dunia kini benar-benar telah menyempit. Bukan karena bumi mengecil, melainkan karena kemudahan akses serta keterhubungan antarpenjuru dunia telah semakin dimungkinkan oleh teknologi global. Globalisasi yang sesungguhnya menyangkut keterhubungan dua arah itu bukan saja telah memudahkan kita mengakses dunia, melainkan juga memudahkan dunia mengakses kita. Masalahnya, apakah yang kita miliki ini cukup menarik minat dunia untuk mengakses kita?

Baca lebih lanjut

Djokdja Onthel Carnival dan Kekuatan Cinta.

Kalau hati senang, semua yang dilakukan akan terasa ringan. Demi sebuah cinta, energi yang terhimpun untuk mewujudkannya pun bisa sedemikian dahsyatnya. Senang, cinta, riang, bahagia, merupakan kekayaan yang tiada terhingga. Dengannya seseorang akan memperoleh obat atas segala derita. Dengannya pula, banyak hal yang sepertinya mustahil menjadi tak lagi musykil.

putri-putri domas menebar pesona, menabur harum cinta kita semua

Dalam legenda dan sejarah, kekuatan cinta yang mendalam itu mampu menghadirkan Candi Sewu yang indah serta mewujudkan Taj Mahal yang megah. Candi sewu konon dibangun oleh Bandung Bondowoso untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang sebagai syarat atas kesediaannya untuk dipersunting, sementara Taj Mahal dibangun oleh Kaisar Shah Jahan sebagai perwujudan cintanya atas Mumtaz Mahal, istrinya yang meninggal saat melahirkan anak ke-14.

Baca lebih lanjut

Masjid ‘Pathok Negara’ Wonokromo: Kisah Menegakkan Negara dengan Membangun Akhlak Bangsa.

Sebagaimana sungai-sungai yang mengalirkan air ke mana-mana, akan ada satu muara yang mempertemukannya dengan lautan. Seperti juga kami yang bisa memulai perjalanan dari mana saja, tetapi hanya ada satu tempat kembali: ke haribaan Yang Esa.


Masjid Taqwa di Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta

Rupanya hujan masih terus melanjutkan ekspansinya hingga bulan Juni. Kendala paling sederhana yang kami rasakan adalah, baju seragam ngonthel kami tak bisa kering dalam sehari. Tanah basah di Minggu pagi, 13 Juni 2010 itu terus menguapkan kabut tebal yang segera menyelimuti kampung Potorono. Kami, komunitas Opoto (Onthel Potorono) terpaksa menunggu kabut menipis, sekedar mendapatkan jarak pandang agar mampu mengenali kendaraan yang ada di depan kami. Akibatnya, kami berangkat lebih siang dari biasanya. Baca lebih lanjut

Desa Wisata Sorowulan: Rumput Hijau yang Butuh Siraman

Jika rumput di halaman tetangga selalu tampak lebih hijau, maka tugas setiap orang semestinya adalah merawat dan menjaga agar rumput di halaman rumahnya tetap terlihat hijau di mata tetangga. Sayangnya, keberhasilan orang lain kadang begitu mudah membuat orang silau sehingga berusaha meniru dan meraih keberhasilan serupa tanpa menyadari bahwa potensi sendiri yang sebenarnya tak kalah berharganya justru menjadi terlantar karenanya.

lesung batu peninggalan Empu Suro

Minggu pagi, 6 Juni 2010 lalu, kami komunitas Opoto (Onthel Potorono) ikut memeriahkan acara bersepeda ke desa wisata Sorowulan di kawasan Turi, Purwobinangun, Sleman, Jogja. Acara yang difasilitasi Dinas Pariwisata DIY ini melibatkan 500-an pesepeda dari berbagai komunitas sepeda, termasuk Opoto. Baca lebih lanjut

Blangkon, Pengabdian, dan Sepeda Onthel

Salah satu yang akan muncul setiap kali membayangkan sosok orang Jawa barangkali adalah blangkonnya, yaitu penutup kepala bagi pria Jawa agar tampil lebih tampan dan rapi.

Opoters mengunjungi Mbah Ngudi Pawoko, pembuat blangkon di Bantul

Perjalanan historis blangkon bermula dari kebiasaan para pria Jawa tempo dulu mengenakan ikat kepala yang terbuka di bagian atasnya. Ketika pengaruh Islam masuk, bentuk ikat kepala pun mulai berubah. Anjuran Islam untuk menutup seluruh bagian kepala telah melahirkan udheng/iket yang lebih rapi dan mampu menyembunyikan rambut panjang mereka, tetapi cukup rumit cara mengenakannya. Sebelum menggunakan udheng/iket itu, rambut mereka terlebih dahulu harus digelung kecil atau dikuncir ke belakang. Ada yang membuat kerata basa bahwa ketika mengenakan udheng, maka seseorang harus mudheng. Artinya, setidaknya ia harus paham menakar ukuran kepalanya sendiri. Baca lebih lanjut