Embung Tambakboyo: Menyiasati Perangai Musim

Ada opini yang mengatakan bahwa agaknya selama ini kita cenderung terlena karena dimanjakan oleh alam yang ramah. Berbeda dengan mereka yang tinggal di wilayah dengan empat musim, kita yang hanya mengenal dua musim sepanjang tahun ini relatif bisa hidup lebih santai karena tidak terlalu dituntut kedisiplinan tinggi, utamanya dalam hal memanfaatkan waktu. Itulah sebabnya, dalam melakukan segala sesuatu kita cenderung kurang bergegas dan kurang disiplin mempertimbangkan waktu. Keterlenaan ini  membuat kita kurang terpacu untuk bekerja keras sehingga meskipun kita tinggal di bumi yang kaya, saat ini kita belum juga bisa dikatakan sejahtera.

lebih bergegas sebelum pagi memanas

Padahal, semakin tua bumi yang kita huni ini, kenyataannya kita tak lagi bisa menanggapi kehadiran dua musim tersebut dengan sikap santai, karena setiap musim mulai meninggalkan dampak masing-masing secara ekstrem. Saat kemarau kita kekeringan, sementara begitu hujan datang air bah pun melanda. Fenomena ini menyadarkan kita bahwa ada yang lebih berharga daripada membiarkan waktu-waktu kita menguap begitu saja.

Januari ini, Jogja sudah resmi memasuki musim penghujan. Sejak musim ini datang, setiap malam Minggu ada satu doa khusus yang kami panjatkan bersama doa sebelum tidur: semoga besok hujan tidak turun pagi hari! Agaknya doa kami ini dikabulkan, karena kenyataannya hujan lebih banyak turun sore hari. Dengan begitu, cucian bisa kering, anak-anak bisa cukup bermain, dan… kami bisa ngonthel bersama 🙂

melintas cepat di jalur pesawat

Seperti pagi itu, Minggu, 17 Januari 2010, betapa senangnya ketika kami bangun pagi-pagi dan melihat mendung belum cukup tebal untuk menjadi hujan. Kami tentu menyadari bahwa hujan sudah sedemikian dinanti, terutama oleh para petani. Kami melihat sendiri di akhir musim kemarau lalu, betapa di beberapa petak sawah sepanjang jalan Imogiri Timur para petani berjuang mengalirkan air ke sawah bergantian dengan bantuan diesel. Nah, hujan yang turun pasti akan disambut dengan rasa syukur karena akan mengairi petak-petak sawah mereka, menyuburkan padi yang mereka tanam, dan menambah cadangan air tanah yang semakin susut karena eksploitasi berlebihan kadang tak hanya terjadi di kota, tetapi bahkan juga merambah hingga ke desa.

embung tambakboyo yang menampung dan meredam potensi bahaya

Perlahan kami mengayuh sepeda onthel kami melingkar ke Berbah, Tajem, lalu Maguwoharjo, sebelum akhirnya sampai di Embung Tambakboyo yang lokasinya berada di pertemuan tiga desa, yakni desa Condongcatur dan Maguwoharjo di wilayah kecamatan Depok, serta desa Wedomartani di wilayah kecamatan Ngemplak.

Sebenarnya ada rute yang lebih mudah untuk menemukan lokasi embung ini, yaitu lewat Jalan Lingkar Utara, di perempatan traffic light depan kampus UPN belok ke utara kira-kira 1,5 km. Di sana akan ditemukan papan penunjuk lokasi. Embung yang dibangun oleh pemprov DIY pada tahun 2003 ini konon membutuhkan anggaran tak kurang dari Rp50,4 miliar!

pose narsis. lainnya pada nggak bisa liat air melimpah 😀

Demi melihat air yang melimpah dalam hamparan seluas 7,8 Ha ini, sirna sudah rasa lelah kami, berganti perasaan riang dan segar. Tanpa turun dari sepeda, kami segera mengelilingi embung yang sepagi itu sudah ramai oleh keluarga, muda-mudi, juga orang-orang yang duduk berjajar di tepian embung sambil memegang kail.

embung tambakboyo. kalau kecemplung bisa bahaya

Adakah ikan di sini? Kami sempat menghampiri seseorang yang tampak asyik memancing sendirian. Semula kami sempat khawatir kedatangan kami akan mengganggu aktivitasnya. Ternyata tidak. Kami justru disambutnya dengan ramah. Lalu tiba-tiba keajaiban pun terjadi. Di tengah keriuhan perbincangan kami, umpan pada mata kail itu justru berkali-kali disambar oleh ikan-ikan berukuran kecil-sedang yang segera kami tangkap beramai-ramai. Hal itu terjadi terus-menerus sehingga menarik perhatian dan sempat membuat kheki teman-temannya.

Opoto mendatangkan hoki juga

Rupanya ikan di sini banyak sekali. Mungkin, selain karena di embung ini sudah ditaburi benih ikan, air yang tergenang sebanyak itu pun rupanya didapatkan dengan membendung pertemuan dua sungai, yaitu sungai Tambakboyo dan sungai Buntung. Tentu, dahulu ikan-ikan dari sungai itu seperti wader, sepat, juga nila masuk pula ke embung ini.

Dengan volume tampungan hingga 400.000m3, embung Tambakboyo ini dalam pandangan kami merupakan sebuah proyek idealis-praktis guna mengantisipasi permasalahan yang sering timbul berkaitan dengan kedua musim kita yang kini sering hadir dengan karakter ekstrem.

kebanyakan melihat ikan, bawaannya jadi lapar

Pada musim penghujan, embung Tambakboyo berpotensi sebagai pengendali banjir, sementara pada musim kemarau, embung ini mampu menyediakan pasokan air baku, disamping juga sebagai upaya konservasi untuk menaikkan kembali permukaan air tanah, utamanya di wilayah kabupaten Sleman dan Kota Jogja. Di samping itu, embung yang dibangun di lokasi yang dahulu merupakan tempat penimbunan sampah  ini kini menjadi alternatif tempat wisata keluarga. Konon, berbagai sarana wisata air kelak akan disediakan pula sehingga menjanjikan sebuah tujuan wisata yang semakin menarik.

Jika saja kami tidak melihat jarum jam, kami masih akan berlama-lama di sana. Mendung yang mulai menghalangi matahari, ditambah semilir angin yang sepoi-sepoi membuat kami tak menyadari bahwa kami sudah menghabiskan banyak waktu di tempat ini.

kami semua ini dulunya tampan. cuma karena kebanyakan foto, jadinya…

Siang telah datang. Kami bergegas mengayuh sepeda onthel kami, kali ini langsung menuju arah pulang terdekat, karena di samping kaki sudah penat, perut pun mulai lapar. Di arah pulang itu, kami melewati jembatan layang Janti, tempat aneka makanan dijajakan. Tak seperti biasanya, dalam suasana berbeda di bawah jembatan kali ini kami memilih menu lain: lontong opor.

Kami lalu memarkir sepeda kami dan duduk di atas karpet sambil menanti sarapan disiapkan. Jumlah kami yang cukup banyak, ditambah ekspresi kelaparan yang sengaja tidak kami sembunyikan telah membuat penjualnya kelabakan. Tapi rupanya penjual itu tak kehilangan akal. Satu stoples penuh kerupuk dihadangkannya dengan harapan agar mampu mengganjal rasa lapar kami untuk sementara. Sebuah niat baik yang kami tanggapi dengan sukacita. Tanpa mengecewakan, kerupuk itu pun tandas kami habiskan. 🙂

suasana alam luar, harga familiar 😀

Usai menghabiskan sepiring lontong opor, segelas teh hangat, dan satu stoples kerupuk, kami kembali mengayuh melewati Blok-O, Berbah, dan tak berapa lama jalanan kecil di antara petak-petak sawah itu telah mengantarkan kami kembali sampai di Potorono. Semua bersyukur dan bernafas lega.

Mendung semakin tebal. Gerakannya kini melambat, dan warnanya pun semakin pekat. Sesekali matahari mencuri celah untuk meloloskan seleret sinarnya, jatuh menimpa lampu sepeda onthel kami. Hujan agaknya segera datang, memenuhi kewajibannya memberikan keseimbangan atas bumi yang kami cintai.

71 responses to “Embung Tambakboyo: Menyiasati Perangai Musim

  1. Kenikmatan bersepeda yg tiada henti tara nya. loh…. ??!!
    Tragedi pedalpun tidak menyurutkan niat sedikitpun.
    Tapi mana ya, yg janji mau ndandani batavus alakadarku ??
    ehmmm…
    Waktu di embung Pak’e Sultan seneng banget liat orang mancing, dia membangkitkan kenangan ms kecilnya dl x ya..

    • Korban tragedi pedal yang satunya kok belum nongol lagi ya? Apa kapok?

      Pantesan Pak’e Soultan ketawanya paling lebar. Apa dulu jago adus kali? Hehe…

  2. Walah mas,kok nyepeda ke embung gak bilang2x…
    Lha embungnya kan berada didaerah blkg rumah saya… Tau gitu kan saya bisa ikutan ke sana …
    Tp okelah, kpn-kpn sy jg kepengin ikutan ngonthel bareng sedulur OPOTO, sambil makan soto rame2x….siiip…

    • Mas Bagus, kalau nyotonya di Payak kan jauh. Nanti pulangnya sendirian lagi. Kasian si kecil kan, menunggu Bapaknya. Hehe… Ayo Mas, kita siap ngonthel bareng.

  3. Setuju dengan Kang Erwin bahwasanya ngontel mempunyai suatu kenikmatan. Saya sendiri punya suatu keinginan suatu saat bersepeda bareng teman-teman Opoto seperti keinginan Den Bagus Podjok, soalnya panorama Jogja dan sekitarnya lebih alami dari pada Surabaya, apalagi kalau lihat foto Embung Tambakboyo kok rasanya teduh banget.

    • Foto-fotonya kurang bagus Mas. Cuaca kurang mendukung. Apalagi modelnya 😀

      • bagaimanapun actionnya sudah bagus kok … cuman saya sempat “tertipu”, tadinya yg pakai sepatu coklat saya kira Kang Nur, ternyata mirip ….

  4. Mas Noer,

    Yang menggelitik dan buat perus saya mules adalah kalimat panjenengan:” Januari ini, Jogja sudah resmi memasuki musim penghujan…”.

    Kalimat ini apakah memang cerminan manusia Jogja, bahwa untuk segala hal urusan harus menunggu titah, sendiko dhawuh dan restu kanjeng pejabat atau sinuhun..? Sampai-sampai musim hujan saja memakai istilah “sudah resmi”. Jadi memang diresmikan dulu baru turun huja he he he…

    Untuk kenikmatan dua musim ini memang anugrerah. Tapi nyatanya bencana di negeri gemah ripah ini tak habis-habisnya. Kalau Pak Kiyai di desa saya bilang itu karena “kita tidak pandai menjaga warisan Gusti Allah berupa bumi pertiwi ini….”.

    Ada nasehat dan peringatan keras sejak 100 tahun lalu yang kita abaikan:

    ”Kamu akan kehilangan hakmu, yang akan dirampas oleh orang- orang asing dan para spekulan, yang pada gilirannya akan menjadi tuan dan pemilik; sedangkan kamu, hai anak-anak negeri, akan terusir dan tidak akan menjadi apa-apa, selain kuli dan sampah Pulau Kalimantan!” (Charles Brooke, 1915).

    Kita memang “keledai dungu” jika melihat hari ini kekayaan alam kita ini “disedekah-relakan semua kepada para predator asing”.

    Kata predator itu bukan istilah saya lohh.. melainkan dari mantan PM Mhathir Muhammad.

    Terus mengenai dampak pada etos kerjanya yang “alon-alon waton suloyo” itu setuju sekali. Panjenengan “memukul keras” tapi yang “dipukul” malah tersenyum.

    Makanya, saatnya kini kita “bekerja lebih keras. dan lebih cerdas” lagi.

    Kalau perkara “bekerja keras”, semua sudah sangat paham. Itu ciri bangsa Indonesia sejati.

    Menganai “bekerja cerdas” para onthelis, barangkali bisa mencoba salah satu resepnya di sini http://bit.ly/4yEKZW

    Salam

  5. Haha… Mas Anab, sebenarnya hujan sudah beberapa kali turun di bulan-bulan sebelumnya. Cuma polanya belum ajeg. Jadi sepertinya belum resmi 😀

    Predator paling ganas memang yang tidak berbulu dan berkaki dua itu 🙂

  6. wah… sueeeger rek….
    sorry om…. gak bisa ikut kemarin… bersamaan dengan acara lomba mancing… wah ada tamu dari arab nich??.. he..he… 🙂

    • Wah, jan…! Dipancing-pancing gak mau keluar, jebul malah lagi mancing… Tamu Arabnya belum komentar, baru ngisik-isik monas.

  7. reportase yang cukup mendetail itu yang saya sukai sehingga ketika kami ingin mengunjungi tempat tersebut tidak nyasar dan dapat menjadi inspirasi untuk pergi dengan keluarga ( spt sewaktu dengan anak mengunjungi ngoto ) terima kasih atas reportasenya, mudah-mudahan ke depan bisa lebih detail sebagai salah satu sumber inspirasi dan juga mencari lokasi agar tidak nyasar, ha ha sayang menu ganti.

    • Ah, Mas Faj. Berarti kami harus ke kid’s fun dan water park juga dong? Haha..kami sih biasanya ciblon di sungai saja 🙂

      Ngonthel itu juga melatih survivalitas lho. Tiada soto, lontong opor pun jadi. Hehe…

  8. OPOTO paling yahud, setiap touring pasti ketebak endingnya……. genduren…alias berwisata kuliner, simbiosis mutualisme, yang satu perlu bahan bakar dan yang satu menjual bahan bakar ramah lingkungan, what a happy day….

    • Iya nih. Sampai pernah ketemu komunitas onthel lain di Prambanan pun sambil bercanda kami diledekin: “Waa… kalau itu pada gak betah lapar ya!” 🙂 Lha kami kan juga butuh kebahagiaan-kebahagiaan kecil semacam itu. Badan seger, sambil menikmati sarapan kami bisa ngobrol tentang banyak hal. Selain mempererat silaturahmi juga memperkaya batin.

  9. Embungnya tidak kalah dengan Senggigi hehe. Minggu ini kayaknya Absen lagi Boss

  10. Nggak betah laparnya kalau di Prambanan, lapar beneran atau lapar pengin belanja klitihikan atau sepeda lawasan yang masih yahud-yahud? nambah koleksi lagi?

    • Kalau pengin klithikan sih setiap saat pengin Mas. Tapi membahayakan bahan bakar itu… 🙂

      Penampakan Fongers semakin banyak lho Mas. Juga cycloide. Mas Bagus masih mau? Hehe… manas-manasi…

  11. wah embung lontong opor yg lezaat, sy jadi ngebayangke opor ayam kampung santen kuning kenthel dan lontong ijo yg lembut harum daun pisang…lheb tenan… apa kbr mas Noer.. awuhe gadung opo kanag… rawuh bandung opo karawang…hehehe

    • Wah, priyayi satu ini akhirnya mampir juga. Kirain sudah ikut sibuk mengarahkan dua acara keren itu. Sayangnya rata-rata Opoters masih terkendala untuk ke luar kota karena kerjanya masih 6 hari kerja. Padahal sahabat-sahabat onthelis se-Jogja siap ngajak barengan lho.

      Ayo, teman-teman, bagaimana dengan Karawang? Siapa tahu bisa pada cuti?

      Soal lontong opor kuning kental, kita tunggu lebaran depan saja. Haha…

  12. Betul, Mas. Belum mau nambah Mas, yang di bengkel Onggobayan saja belum ke ambil. Kalau mau nambah nanti yg dirumah ngamuk, karena ngebak-ngebaki omah.

    • Ya, yang ada saja kita rawat biar makin kinyis-kinyis dan tumpakane koyo limbuk. Hehe… Ayo Mas ngonthel bareng, sambil ngobrol yang lain. Saya kan pengin sinau sejarah juga. Serius ini… 🙂

  13. @ mas Bagus titip tempatku msh ada space kok asal ori…hehehe

  14. @ mas Noer kalau sederek opoto mau rawuh karawang saya siap gelar kloso lesehan dirumah saya… pepes ikan dan emping jengkol khas krwg siap menanti…monggo sy tunggu tenan lho… mari kita cutiii…hehehe.

    • Wah, lha ini tawaran yang ditunggu-tunggu. Nglencer, seneng-seneng, nonton klithikan dan… yang tidak kalah penting: nonton space untuk onthel ori tadi. 😀

      Maturnuwun sebelumnya, Pak Rendra. Saya rayu dulu teman-teman Opoters…

  15. @ Mas Noer, Kapan ya kita ngonthel bareng dan bisa ngobrol lama, Rute manut saja tinggal nanti saya nunggu perintah saja.
    @ Pak Rendra, kalau titip njenengan, itu namanya nguyahi segara ombo. wakakak.

    • Mas Bagus, setiap Minggu pagi (asal nggak hujan) kami selalu ngonthel kok, walaupun selama musim penghujan rute kita cenderung menyesuaikan cuaca. Atau ketemu saja di klithikan plus angkringan ya? Haha…

      Teman-teman Opoters, apakah Minggu ini kita sempat ngonthel? Ada kerja bakti kampung, kan? Atau ngonthelnya sore? Lha terus hujannya kapan dong? Hehe…

  16. Bagus Kurniawan

    Mas Noer, saya tiap Minggu pagi juga ngonthel sambil momong, rute juga tidak terlalu jauh. Kalau malam minggu kadang juga mampir di angkringan Lik Adi Giwangan atau Kang Slamet depan SD Tegalturi. Kalau sabtu besok jelas dolan di Prambanan mumpung pasaran Pon.
    @ Mas Rendra, kalau ori semua ini masih nunggu wangsit.

  17. wah wah wah laporan pandangan mata dari pak de bagus bener nih, serasa lagi mbaca “nagasasra dan sabuk inten”nya sh mintardja
    aku ngikutin terus ulasan pak de opotorono lho – dari agusti DeFOC….nuwun

    • Terimakasih, Mas Agusti. Kok baca Nagasasra juga ya? Hehe… Apa kabar Depok? Semoga tetap semangat ya.

      Salam hangat dari kampung Potorono.

  18. mas nur dan opoters apa kabar…liputan yang hangat tapi pasti saat itu suasana lagi dingin…hehehe btw saya baca di undangan bandung lautan onthel sepertinya belum ada komen dr temen2 opoters ne…kira2 akan tindak bandung mas…??nuwun
    -bejo-

    • Kabar baik, Mas beJO. Terutama setelah Mas beJO muncul. Haha… Waktu di embung cuacanya kurang mendukung, makanya hasil foto embungnya kurang bagus. Iya tuh, teman-teman Opoters bawaannya masih terngiang liburan akhir tahun kali. Panasnya lama 🙂 Bandung sepertinya masih pada terjendala waktu. Tapi ada tawaran khusus lho, untuk Karawang…

  19. @mas Noer tenan lho sy antu antu rawuhe digubug kami sederek OPOTO tmsk ms Bagus…kita ngumpul,ngobrol dan ngonthel…. sy siapin space buat yg ori krn yg ada cenderung tdk pernah ori…hehehe…

    • Kasinggihan, Pak Rendra. Akan kami sampaikan ke teman-teman. Di Potorono, anak-anak saja sudah dibiasakan pegang ori. Biar kreatif. Origami kan merangsang kreativitas. Hehe…

  20. @mas nur : wah sayang sekali mas nur mungkin ini merupakan salah satu satu even besar tahun ini sebelum terjadi perang dunia III nopember nanti (menurut ramalan) hehehe…
    @mas rendra : wah kok saya ndak diundang to mas padahal dari bandung ke karawang deket lho…hehehe

    • Iya Mas Joni. Sayang sih. Apalagi ada pameran Gazelle segala itu. Apa daya 😦 Ya, semoga nanti pada nggak keberatan nyeritain ya…

  21. @ mas bejo…hayo rawuh krw tak tunggu tenan njih…hehehe.maaf kliwatan..
    @ mas Noer dikrawang gudangnya origami…. bakan oriandri juga banyak…. ( ngawur mode “on”)

  22. @mas rendra : wah senang sekali saya mas bisa ketemu dengan mas rendra di BLO tapi sayang ga ikut ngonthel hehehehe….soale disusul ibu ya mas hiks….siaap mas insya Allah tapi kl ke karawang saya ga bawa sepeda ah…mo nyobain pake kolektor karawang aj….biar afdol
    @mas nur : acaranya rame banget mas sampe pas mau tour antri keluarnya aj lamaaaaaa banget penuh dengan sepeda, yg rame klithikane mas dodolane laris manis hehehehe….tentang Gazelle ternyata bukan dari Belanda narasumbernya tapi dari dealer Gazelle yang ada di Bekasi…jd kurang menarik lebih menarik yang “jaga” stand Gazelle sepertinya nglenyerlebih empuk dari Gazelle Cross Frame hahahaha…..

  23. @ Denmas Bejo,lha kok kita banyak kesamaan( he..he..sok akrab) seneng sepeda tua dan kok ….juga seneng yang jaga stand Gazelle hua..ha..ha! Betul lho Mas, ontheller lain gak ada yang seneng dames yang jaga stand gazelle!, senengnya sama Heren yang jaga klithikan…hua..ha..ha..Den Zadel juga seneng ama heren yang jaga klithikan,H. Myitno,sunurawa dan saya lihat sendiri..ngobrolnya asyiiiik sekali!

  24. @ mas Bejo berjam jam nungguin ” penjaga” gazelle sajake meh mundhut to mas… hehehe…. mosok ngelenyer sih…

  25. @oya mas Bejo boleh dong kirim ft yg ama mas Towil kemarin..

  26. @kang lintang : wah kok kita ga ketemu yach ato jangan2 sampeyan ndak beranjak dari stand Gazelle dames dengan spakbor setengah tanpa keni ya mas ..hahahaha…wah betull itu….hehehe…
    @mas rendra : hahahaha…sepertinya gitu coba kalau kmr ga ada spionasse mas pasti dah ikut saya toh..hiks…mau beli tapi sayangnya garasi ga cukup mas bempernya terlalu lebar takut mentok…kayaknya nglenyer karena sadelnya lebih tebal dari Lepper pasti pernya empuk mas…btw fotonya di mas towil cz itu kamera mas towil mas saya ga punya kamera je tak jual untuk beli bel dingdong ntr tak mintain mas towil….
    -bejo-

  27. Weleh weleh…
    Kata teman-teman, kalo bepergian trus ngeliat anak-anak, bawaannya jadi inget anak di rumah. Tapi kalau ngeliat Gazelle dames spatbor mini, apa ya pada inget Gazelle yang di rumah, hayo? 🙂

  28. @mas lintang gendir penjalis ron genduru… sampeyan wingi nyedhaki yg ngadep topi dan kaos Gazelle apa ada niat buka agensi to…. awas spatbor mini lho… (istilahe mas Noer)..
    @ mas Bejo…ono gending Eling eling lho…hehehe..

  29. @mas nur : ingat mas malah pengen nambah koleksi Gazellenya lo…hehehehe…
    @mas rendra : eling-eling neng pinggir kali aling-aling wit pring mas…hehehe…mas kalo mo ke karawang dr bdg naik apa ya..??travel ada ndak..??aku pinjem sepedane yo mas ntr….

  30. @ mas Bejo naik primajasa aja turun di krwg, kalau travel ga mau keluar tol.. sepeda sumonggo aja asal mau sak anane..

  31. Pak Zadel, jujur saja waktu saya ke stand Gazelle mau liat Royal Dutch Gazelle, sware! Lha tiba’e ada penampakan Gazelle sing iso mlaku dewe, cat masih mulus,jok celeng,rem tromol masih pakem, dan spatbord mini,Gazelle sing edi peni ya Gus,lali purwo duksinone…saya langsung kebelakang..kebelet pipis kulo Gus! mulai sekarang saya lebih seneng dames timbang heren..he..he

  32. Nggih Gus Wong,pasrah kulo, kemedul kukuse Gus!

  33. @ judule ” lintang kemrucusss”….hehehe… semua gara gara satbor mini gazelle…dhuh biyuung….

  34. pak de wongeres, potorono gak ketemu aku di bandung lautan ontel. sampean gak datang to. wuaduh asyik tenan lho pakde, hayo kita sukseskan kerawang bekasi tgl 20-21 pebruari besok yok. -salam ontel dari agusti DeFOC

    • Iya nih, sayang kalau dilewatkan. Apalagi ada tawaran menarik: lesehan menikmati spatbor mini eh, pepes ikan. Hehe…

  35. @mas nur : tindak ke karawang ga mas…disana banyak spatbor Fongers mini lo mas ga sampe depan cuma terputus diatas fork depan tapi bukan seri alam justru seri baru semua…hehehe
    -bejo-

  36. fongers torpedo ada, rem karet ada, tromol ada,pingine rem apa Gus Wong? ati-ati remnya blong lho Gus! rem karet bagus ,tapi kalo salipan sama fongers sing ra ono spatbord-e bahaya Gus, rem pakem iso dadi blong..hi..hi

    • Biar pun remnya pakem, ya nggak usah ‘dipamer-pamerke’ to. Kalo dalam rangka ‘pamer’ tadi terus ngeremnya ‘digetke’ secara ekstrem kan malah bahaya. Bisa ngunci! Lha, blaik kan, kalau nanti pas mau dipakai malah masih ngunci terus. Disalipi Gazelle spatbor mini atau Fongers brondhol yang wira-wiri masih tetep aja diem nyekukruk. Gimana, hayo? Hehe…

      Lagian, kalau dipikir-pikir, kan lebih baik banter direm-rem, daripada seret ditarik-tarik, didorong-dorong tetep nyekukruk… 😀

  37. heleh..heleh..bisa ja Gus Wong ini, saya ngerem pake kaki njejeg sandal jepit dibelakang garpu di dames yang gak pake spatbord , he..he..aman, hanya ngerem kalo diperlukan…jalan njojlok….tancap gas, wuesssssss…

  38. Blog yang….luar biasa, siswane Umar Kayam!

  39. cerita yg menggelitik hati, sama seperti SH Mintarja, hanya kurang : Dalam pada itu……..Mahesa Jenar masih berhadapan dengan Pasingsingan………………….wis to………..mantaaaaaap

    • Agung Sedayu pun menggamit keponakannya itu. “Ki sanak…”, katanya sareh kepada seorang yang berbadan tinggi besar dengan baju kutung yang dibiarkannya terbuka sehingga memperlihatkan bulu-bulu lebat di dadanya yang bidang…

      Hahaha… kok kita malah reuni SH Mintardja 😀

  40. Iyo yo Bos Heri, Kiai Gringsing ngrapal kakang kawah adi ari-ari, opo ti ki i beng siauw lim pay—–sedottttttt

  41. @ wah temen2 gus Lintang dan mas Wong..dho ngrembug opo to… sy kok ga tau ya cerita begituan….itu cerita tentang apa to… “.. dalam pada itu itu Swandaru Geni dengan suara letusan cambuknya yg menggelegar benar benar menunjukkan kekuatan wadag yg luar biasa… sementara letusan cambuk Adung sedayu seperti tdk bersuara..tetapi letusannya sangat dalam dan mengguncangkan dada lawannya…halaaaaaahhhh..podo wae…heheheh

    • Swandaru Geni segera turun dari Simplex Cycloide 22 dan menyerahkan kepada seorang pekatik. Dalam pada itu, Agung Sedayu menuntun Burgers heren 24-nya menuju pakiwan*

      *Swandaru Geni, anak Demang Sangkal Putung lebih suka Simplex, karena di kampungnya Simplex merupakan sepeda favorit. Sementara di padepokan Agung Sedayu, tetangganya Mas Margono, Burgers lebih banyak ditemukan. 😀 😀

  42. @ lho bukannya Agung sedayu lebih suka naik simplex Sekar Mirah to mas…tumpakane nglenyer tenan jarene….hehehe.. wiis tah..rusaaak pakeme …

  43. Siancai..siancai..maaf teecu kurang hormat pada susiok, tapi suheng Gak Bun Beng telah menuju sungai kuning untuk mandi, sambil beli es saama Suma Han dan dilayani oleh Suma ceng liong dan yang cuci gelas Suma Hui dibantu Kam Hong…..tambah rusak nggih Gus!!!!!!! Suhu saya gak kuat lagi….ngonthel!

  44. Wah repot, kalau Burgers 24-an ori di kawasan Sedayu-Godean sudah diosak-asik, banyak yang kecele alias mlongo………..

  45. walah walah walah……apa ya ada di museum sepeda potorono ontel jamane suma han, pasingsingan, agung sedayu , opo joko tingkir? tanya juga tuh sama pak de Sahid Nugroho kamusnya ontel ada sama beliau , lah wong S3 nya beliau juga tentang ontel……….he he he he, mas Sahid, salam dari om Gunadi DeFOC

Tinggalkan Balasan ke onthelpotorono Batalkan balasan