Bersepeda di Belanda

Setelah tulisan tentang bersepeda di Jerman, tulisan bersepeda di Belanda berikut ini kembali ditulis oleh sahabat/koresponden Opoto (Onthel Potorono): Mas Farid Mustofa. Semoga memperkaya wawasan kita (wongeres).
—–

Tanggal 24 Juli 2009 saya ke Belanda, mengunjungi Eduard, teman kost saya saat ia belajar di Jogja. Ternyata Eduard benar-benar jatuh cinta pada Indonesia. Kecintaan Eduard terhadap Indonesia bukan hanya dibuktikan dengan menikahi wanita Indonesia, melainkan juga dengan ketekunannya mengelola warung makan yang menyediakan 36 menu masakan khas Indonesia. Sebagai buah dari ketekunannya itu, di warung mungil seluas 5m x 3m itu Eduard dan istrinya sanggup menjual 200 porsi sehari, satu porsinya berkisar 10euro (Rp150.000). Sebuah bisnis yang menarik, semenarik nama warungnya: „Toko Iboe Tjilik“.

Bersepeda-di-Belanda-01

bersepeda berdampingan, layaknya di Indonesia

Selagi berada di Belanda inilah saya meniatkan hati untuk mengamati situasi persepedaan di sana. Tetapi, tiga hari di Leiden dan sehari di Amsterdam ternyata tidaklah cukup untuk maksud tersebut.

Setelah sembilan jam perjalanan, kereta Jerman yang saya naiki sampai di Schiphol, Netherland, lalu Leiden 20 menit kemudian. Kesan yang muncul begitu sampai di stasiun Leiden adalah bentuknya yang mirip stasiun Tugu di Jogja. Berbeda dengan hauptbahnhof (stasiun kereta) Jerman yang kokoh, kotak dan berbatu-batu, stasiun Leiden —juga stasiun Belanda lain— rata-rata mirip stasiun kita, melengkung berbesi-besi. Namanya pun tak asing di telinga: station spoor.

Bersepeda-di-Belanda-02

hamparan sepeda di mana-mana

Hal lain yang segera membuat saya takjub adalah: pemandangan lautan sepeda. Di tempat parkir stasiun Leiden yang seluas halaman stasiun Tugu itu, ratusan ribu sepeda terparkir rapi dan bertingkat, membentuk hamparan besi yang kemrecek berkilauan. Pun ketika saya mengalihkan pandangan ke tempat lain, tetap saja sepeda dan sepeda yang saya temukan. Di jalan-jalan, emper toko, jembatan, gang, pasar, taman, gedung, rumah rusak, museum kincir, salon, toko Turki, warung Indonesia, semua penuh sepeda. Meskipun sebelumnya sudah sering saya dengar bahwa Belanda adalah negeri sepeda, tapi tidak pernah terbayangkan bahwa keadaannya akan ’separah’ ini.

Sesampai di rumah Eduard, rasa penasaran saya akan sepeda di Belanda semakin menjadi-jadi. Benar saja. Ketika sorenya Eduard mengajak saya berjalan keliling kompleks, saya amati hampir setiap rumah punya sepeda. Sepeda itu diparkir di halaman, sebagian lagi tersandar di tembok dan pagar rumah. Sesekali saya berhenti untuk mengamati atau sekedar memotretnya. Saat itulah saya sadar, betapa sepeda-sepeda ini berbeda dengan sepeda di Jerman. Bentuknya yang sederhana, besar, hitam, tidak modis. Penampilan sepeda-sepeda yang alakadarnya itu begitu saja memunculkan rasa iba, trenyuh, tapi lama-lama memunculkan semacam kedekatan yang indah, bahkan menenteramkan.

Bersepeda-di-Belanda-03

cara memarkir terkesan seenaknya seperti kita

Memandang sepeda-sepeda ini, yang muncul bukan pikiran logis analitis seperti saat menghadapi sepeda Jerman, melainkan semacam keharuan dan keterpanggilan untuk menyentuhnya. Beberapa sepeda benar-benar memaksa saya berjongkok dan mengelusnya agak lama. Ah, sepeda-sepeda ini hidup!

Kenangan saya terbang ke almarhum Kakek dan sepedanya. Sepeda hitam besar yang presnelingnya berbunyi ‘cik-cik-cik’, yang hanya dimiliki Kakek sebagai petinggi desa, yang tidak sembarang orang boleh memegang apalagi mengendarainya, yang berwibawa dan begitu keramatnya sampai-sampai Kakek menyimpannya di senthong dekat keris dan jimat-jimat, yang diam-diam saya suka menyelinap ke sana lalu dolanan sepeda ‘cik-cik-cik’ itu sepuasnya.

Suatu ketika, sepeda kesayangan Kakek itu hilang dicuri maling. Betapa terpukulnya Kakek. Beliau mengurung diri di rumah, duduk diam di kursinya. Murung berhari-hari. Mendung duka menyelimuti desa. Saya juga ikut sedih, meskipun tidak tahu itu karena kakek berduka atau karena saya jadi kehilangan mainan. Sekian lama kemudian Kakek meninggal karena usia tua, tanpa pernah melihat lagi sepeda kesayangannya.

Berbilang tahun berlalu, dan tiba-tiba di sore itu, di sudut kota Leiden, saya seperti menemukan sepeda Kakek. Melihat keterharuan saya itu, Eduard mengatakan bahwa ia juga punya sepeda seperti itu. Maka, seusai jalan-jalan saya bermaksud melihat dan mengendarainya. Namun, selera saya tiba-tiba lenyap. Sepeda itu dicat oranye!

Bersepeda-di-Belanda-04

sepeda pun berjubel di keramaian

Pagi harinya kami ke pasar. Tentang pasar ini tidak ada kesan lain kecuali saya serasa pulang ke Sleman, bahkan kampung halaman di pedalaman Purwodadi sana. Di pasar kampung itu dahulu selalu ada suara orang berjualan yang berteriak-teriak menawarkan dagangan. Ada banyak baju termasuk seragam pramuka yang digantung berjajar. Ada ikan laut segar dan amis, ada warung makan di tengah pasar, dan tentu saja sepeda berjubel di antara semua itu.

Bersepeda-di-Belanda-05

bentuk-bentuk sepedanya familiar bagi kita

Selain jenis sepeda di Belanda yang terasa familiar dan cara mereka mengendarai yang mirip dengan gaya bersepeda orang Indonesia, hal lain yang membuat saya kerasan adalah bentuk rumah-rumah yang mirip rumah-rumah di kawasan Kotabaru, Jogja atau kantor pos Maliboro. Belum lagi banyaknya muka Indonesia, peranakan maupun asli. Kadang ada juga bule mengenakan batik. Bahasa Indonesia pun familiar di sini, digunakan oleh orang Indonesia maupun warga Belanda. Di Leiden ini pula terdapat universitas tertua yang mempelajari Indonesia, yang koleksi perpustakaannya khusus tentang Indonesia terlengkap di dunia.

Bersepeda-di-Belanda-06

sepeda untuk berbagai keperluan

Genap sudah kegembiraan saya untuk seakan-akan merasakan mudik. Memang lalu tidak sangat eropa seperti Berlin, Leipzig, dan kota eropa lain, tapi tidak mengapa. Saya toh bahagia. Leiden sungguh kota yang cantik. Di kota yang dibelah oleh sungai Rhein yang termasyhur itu pula sepeda telah memberikan sentuhannya yang khas. Paduan pemandangan sungai di tengah kota dengan jembatan lengkung, deretan rumah mungil berbata merah, kincir tua, para lelaki yang asyik menikmati teh sore hari di kedai pinggiran jalan, serta gadis-gadis dan ibu-ibu muda bersepeda mengisi sudut-sudut kota, semua itu tampak seperti lukisan yang tengah disempurnakan pelukisnya: warna-warni, silih berganti, bergerak lamban dan tenang…

Secara umum, saya tidak melihat sepeda Belanda bervariasi ‘seaneh’ sepeda Jerman. Bentuknya rata-rata mirip sepeda di tanah air milik teman-teman Opoto, tapi sepeda di sini ukurannya terkesan lebih besar. Rata-rata berwarna hitam. Entah karena warna dan bentuknya yang simpel itu, atau malah juga terbawa kenangan sepeda di Indonesia, dalam pandangan saya sepeda di Belanda seperti kurang terawat. Sebabnya mungkin karena tingginya mobilitas mereka (sering dipakai), plus disiplin bersepeda mereka yang tidak terlalu ketat, misalnya banyak sepeda dibiarkan tanpa berko dan lampu belakang, rem, serta kelengkapan lain yang kalau di Jerman bisa mengundang tilang 10euro. Maka, geli-iba rasanya ketika melihat betapa banyak gadis cantik mirip lady Di dengan cueknya mengendarai sepeda butut, berkarat, dan sangat alakadarnya. Keadaan sepeda Belanda yang ‘minimalis’ itu, bagi saya justru terasa low-profile, sangat rendah hati. Ketika sepeda-sepeda itu diparkir, rasanya tidak ada hambatan psikologis bagi saya untuk mendekat dan memegang-megangnya. Akrab saja, layaknya kawan lama.

Bersepeda-di-Belanda-07

sungai, kota, dan sepeda

Orang-orang di sini juga mengendarai sepeda dengan santai. Tidak seperti di Jerman yang kaku oleh disiplin dan keamanan, orang Belanda biasa mengendarai sepeda dengan berboncengan, berdampingan, tanpa rem, bahkan kadang juga sambil menelpon. Di Amsterdam yang metropolis dan sepeda lebih menyemut lagi, perilaku bersepeda mereka lebih nggegirisi. Merasa kehadiran mereka paling tua, menang dalam jumlah, dan menjadi maskot kota, sepeda melenggang hampir tanpa aturan. Lampu merah, zebra cross, track khusus sepeda harus rela untuk dilanggar karena semua itu hadir belakangan, jauh hari setelah nenek moyang mereka bersepeda.

Bersepeda-di-Belanda-08

sepeda transport yang benar-benar fungsional

Di depan sebuah rumah milik pejabat VOC yang tengah ramai, serombongan penyepeda hampir menyerempet saya dan orang-orang yang sudah berada di zebra-cross.

Waar uw ogen?!!Deze zebra kruis!!“ (dagadu Dab! Nggon nyebrang, kiyi!).

Pisuhan dan sumpah serapah bertaburan. Saya geli dan makin rindu tanah air. Rindu yang tunas sejak bertemu sepeda Kakek. Mendadak saya mengerti dampak 350 tahun keberadaan mereka di Indonesia. Anehnya, lagi-lagi, saya merasa baik-baik saja. Lebih nyaman tepatnya, dibanding di Jerman yang harus selalu waspada dan siaga meski jalanan sepi lengang. Apakah selama ini kita mengimpor tak hanya sepeda dari Belanda, tetapi juga budaya dalam mengendarainya? Celakanya, berkali-kali saya kembali menyadari bahwa saya benar-benar terlanjur terlalu akrab dengan itu semua.

***
Lagi-lagi terima kasih tiada terhingga kami sampaikan untuk Mas Farid yang telah berbagi cerita sehingga kita semua di tanah air bisa mengintip budaya bersepeda di negeri orang. Sedikit editing dari saya, tak lebih hanya untuk menyesuaikan ‘langgam’. Semoga berkenan. Matur nuwun.


62 responses to “Bersepeda di Belanda

  1. Pertamaxs….

    “Kang Farid…… Jangan sering2 mudik ke leiden… ntar malah gak kangen Opoto…”

  2. liputan yang tampak sangat akrab…foto eduard kok ga ada ya mas, coba kalau ada liputan lebih dalam mengenai sepeda transport itu mas…pasti lebih nggegirisi, karena kolektor sepeda itu di Indonesia memang sedikit, setahu saya di Jogja yang menyayangi dengan tulus sepeda ini kolektor dari ndalem Golo dengan beberapa masterpiece-nya…

    • Tuh Mas Noor..Monggo pun pasang foto Eduard (seingatku sudah saya upload semua..eh entah ding).
      Sepeda transport di foto2 itu yang mana ya Mas Bejo. Siapa tahu saya berkesempatan mendalaminya..

    • Wah, mas Bejo kok lama ngilang? Semoga sehat dan baik saja.

      Waktu lihat foto sepeda transport yang di tengah itu, Saya juga kaget Mas. Saya pikir: apakah Pak Sahid lagi tugas belajar di Belanda ya? Hehe…

  3. @ om wongeres
    satu lagi lahan berburu “klithikan” om … kapan diagendakan??? tanya om farid dunk.. di leiden pasarannya apa ? di Amsterdam pasarannya apa ? haaaaa…haaaaa… 🙂

    • haha bisa aja Mas Max ini.. Tapi kali bener juga, menilik suasananya yang meyogyakarta saya jadi curiga jangan-jangan ada pasar klithikan. Cuman pasarannya itu hehe..Ntar kalau jebul ada, pada rame-rame ke sini ya Mas..Nyepeda. Start di Potorono, mruput.

      • onthelpotorono

        Orang Belanda doyan thiwul instant Wonosari nggak ya. Siapa tahu mau kita ajak barter dengan sepeda mereka 🙂

  4. memang lain padang lain belalang, beda negara maka beda cara bersepeda. Terima kasih banyak Mas Farid yg telah menambah informasi kita ttg cara bersepedane wong londo Belanda. Kita tunggu lagi lho cerita-cerita berikutnya (Dhony)

  5. Wah liputan yg sangat kita nantikan, soalnya Belanda itu gudangnya sepeda…
    Ingin rasanya menikmati bersepeda di Belanda…
    Entah kapan, tapi mungkin hanya mimpi… Atau bila kesempatan itu terwujud… Semoga…

    • mas Den Bagus, saya suka membayangkan blog ini ditemu pemilik pabrik sepeda di eropa. Lalu entah bagaimana ceritanya semua yang terlibat nyepeda di blog ini diajak ke sini oleh para pemilik pabrik itu, ke negara masing-masing sesuai sepeda yang dimiliki. *Mas Nur sepedane akeh, njur tekan endi-endi..

  6. @ pak nur
    temen saya ada yg sedang ambil kuliah s2 di eindhoven..kosnya tepat di sebrang jln stadion PHILLIPS markas klub sepakbola PSV Eindhoven & saya iseng nanya apa ada KIMPUL dsana? dan dia jawab ADA (kaget)!!! mgkn pak nur tertarik ekspor kimpul goreng khas potorono ksana?? sapa tau dapat barter obat nyamuk keling hehehe…

    • Hahaha… Jangan salah. Kimpul, bentul, gembili, dsb di sana termasuk makanan impor. Sedangkan gir obat nyamuk keling hanyalah produk lokal, bahkan termasuk barang rongsok yang dijual kiloan. Jangan kaget, kalo Mas Farid kangen oseng-oseng kangkung saja, dia harus beli seiket Rp60 ribu lho. Makanya sini, obat nyamuk kelingnya tak tuker kimpul di sini saja. Sekarang. Nggak usah pake ngimpor ke sana segala. Piye, Mas Yox? Akur to? 😀

      • Heheh betul mas.
        Iki malah ana info reregan terbaru:
        Gembili, kimpul, telo rambat= 3euro (Rp 45 ribu)/kg.
        Kacang panjang 10 lencer= Rp37 ribu.
        Kangkung sak unting= tetap 60ribu.
        Rambutan 6 biji tur besem2 = Rp 45rb.
        Lombok abang 20rb/ons.
        Klapa sak kepel Rp 19 rb.
        Pete 3 lonjor rp 30ewu.
        Tempe (rasane pahit) sak epek2 Rp25rb.
        Tahu 1/5 kg = Rp18 rb.
        Terong 1kg = 30 rb.
        Beras 1kg = 25 rb.
        Indomie Goreng Rp 7.500

        Susu, ndog, ayam, jus buah lebih murah. Karena tidak impor dari Indonesia.

  7. Ramah lingkungan. Hayo ber sepeda.

  8. Sepeda onthel, sepeda pancal ceritanya menarik untuk di simak 🙂

  9. Tapi iri banget nih…ga ada tempat di Indonesia yang kayak gitu…semua kotor oleh polusi, asap, debu…coba pake sepeda…

  10. Mas..di Belanda jga ada klitikan onthel ga?he..he..

  11. Kalo di Jogja nyepeda bisa2 udah gosong kulit sampe ke daging
    JOGJA sekarang PUANAS POLLLLLLLLL….
    Kunjungi juga blog saia di http://rizakasela.wordpress.com/ dan http://rizaherbal.wordpress.com/

  12. bantuan telah kami alokasikan, salam hangat dan ucapan terimakasih dari anggota PUC yang rumahnya mengalami kerusakan dan mendapatkan bantuan

    asessment dan alokasi bantuan KOSTI

    tarimokasih banyak dunsanak..

  13. @ Mas farid

    Nek regone Udut nganti piro Mas (made in Ind) ?? aku arep dodolan ning trotoar (PKL) …he…he….

    Salam.-

    • Salam kenal, Ki Demang.
      Gudang Garam filter, Sampoerna A Mild, Jarum filter dan 76 berkisar 70ewu sampai seratusan ribu rupiah ber bungkus. Krn impor. Benda mewah itu..
      Betul Ki, jualan udut di girlan atau ngasong boleh jadi lahan basah dan sekaligus adheeeem..Ditanggung mbeku sak dingklik-dingklike…hehe

  14. mas Farid dan mas Wong………. tks liputannya yg sangat menarik, ternyata meskipun ama2sama eropa belanda dan jerman beda banget ya….. bener mas Farid rasanya memang lebih ” mbeahi” suasana di londo ya….
    Mas farid kalau sempat cari klithikan lagi tolong di foto yg banyak ya biar kita semua pada ngeces….. hehehe.
    selamat bertugas mas. salam hangat dari Indonesia.

    • iya mas.Beda langgam budaya beda pula sepedanya..konon kata teman di kota Praha, Republik Ceko yg kesohor indahnya itu, lain lagi sepedanya..Kali seperti model becak Solo dan Semarang yang beda, atau becak Jateng dan Jabar.
      Betul mas, ketoke klithikan ini menarik.
      Oya seingat saya pernah lihat sekilas di sini…Dimana yaa, kok lupa. Nanti nak ingat tak fotonya, ben ces ces ces..hehe.
      Terimakasih suportnya Mas. Doakan lancar, lulus dan balik Jogja (soto..sotoo..sotoo)..

  15. @ Om rendra
    waduh… masternya berburu udah mulai “madik-2” nich…. heeee…heeee…. peace om.

    • Wah, sudah muncul. Acara mantunya sudah selesai ya Boss? Kemarin kami mau kasih kejutan dengan ngonthel ke Klaten, tapi baru sampai Plaosan sudah kangen sotonya Siti… 🙂

  16. wah masih 1 kali minggu gak bisa ikut Touring “opoto” om noer… kebetulan tgl 22 nov ada acara di bandung … jadi mohon ijin sekalian yach om noer… untuk selanjutnya bisaaa dech….

  17. madik madik dari jauh tetep kalah sama alap alap Potorono mas Maxs>>> hehehe…salam

  18. mas farid, kok aku iso mbrebes mili moco tulisanmu ning sekaligus mringis ngguyu…
    po neh pas iki ketemu sepedane Embahmu.. duhhh… melok trenyuh…

    • wah..saake aku po piye Pak Teguh..Opo sampean juga punya simbah dengan sepeda ‘hidup’ itu ? Tp klo soal sepeda kui cen jaaan Pak..benar2 tak terlupakan. Beserta semua ekspresi Simbah atas sepedanyaa…

  19. Liputan sepeda Belanda terlengkap, malah ada info harga sayur mayur segala, ransanya seperti dipasar Bringharjo saja. Pak Farid mestinya Waroeng Ibu Tjiliek” juga diliput, kalau sehari bisa menjual 100 porsi kali 150.000 rb, berarti rata-rata sehari bisa meraup penghasilan kotor 15 juta, sungguh pantastis. Salam

    • Sehari bisa sampai 200 porsi. Memang fantastis. 150 rb per porsi tetap dibeli, karena menikmati seporsi makanan Indonesia itu bukan melulu demi lidah dan perut, tetapi juga demi kenangan atas tanah air. Makanya konon Mas Farid kalau baca cerita tentang mangut lele sambal terasi itu bisa nangis beneran.

      Lha, gimana Pak Prayogo, mau buka rumah makan di sana? Nanti ke sana bawa sayur, bumbu, dan gembili, ke sininya bawa klithikan. Pasti banyak yang mendukung 🙂

      • Namanya itu bukan warung je..tapi toko, padahal jan warung lo. Kali karena itu jadi hidup dan menghidupi. Total pegawai, pelayan ganti2 secara sift, sampai 30an. Tukang masaknya (semacam penasihat) dibantu 2 asisten, sudah sepuh, dari Surabaya…bisanya hanya omong Londo dan Jowo kuno..Bhs Indonesianya spt di drama kumpeni2nan ‘en kamu en kamuu..ilander2’..

  20. Mas wongeres sebelah mana soto siti dengan candi plaosan ?

    • Istilah soto-siti itu cuma Bung Max yang tahu, Mas Faj. Hehe… Dari arah jalan Piyungan -Prambanan, setelah nyebrang rel (kalau ke kanan sampai di bengkel Mbah Wir alm), itu terus dikit, kanan jalan. Ada minuman gula asem, kencur, dsb. Menunya selain soto juga ada kikil (ongseng-ongseng mercon).

  21. @pak nur
    sante aja pak klo sy ga dapat bb baru tak hibahkan ke jenengan si BAYGON hehehe…
    wah nek dibarter kimpul ato oseng2 mercon aku nyerah pak..wedi kualat (crut….) !!!! hahaha..

    • Lho. Padahal belum dijelaskan kimpulnya berapa truk, je…

      Lama-lama berburu onderdil di kalangan sahabat-sahabat onthelis ini kok seperti main kartu remi ya. Pada nahan-nahan dulu sebelum memutuskan mau menjadikan BB, crossframe, atau Cycloide. Liat-liat dulu mana yang sekiranya part-nya paling mendekati komplit. Hehe…

  22. mangappppp,,takhniah,,,salut buat mas Farid,,

  23. 1 trek aja pak cukup hahahahahaha……
    btw opoto ikut turing bareng podjok ke lap pandhak bantul besok sore ga ya? kumpul di depan pagelaran kraton kamis 19 nov ’09 jam 16.00 wib. kita nonton bareng kethoprak…moga2 ga ujan.amin

  24. maaf ralat lapangan jodhog bantul..nuwun

    • Halah. Mau nonton kethoprak kok masih keinget klithikan aja lho. Hehe… Iya, kapan itu Pak Darsono & Pak Tarto cerita mau nonton kethoprak. Sayangnya para Opoters jam segitu belum pada pulang Mas. Masih pada glidhig alias banting tulang peras keringat biar bisa nempil ngomplitin gir 🙂

  25. berarti utara kantor polisi prambanan serbu kalau mudik, teman -teman opoto apakah bengkel mbah wir masih buka ?

    • Bengkel masih buka Mas, sepertinya hanya jual sepeda. Nggak tau, apakah sekedar menghabiskan stok yang ada atau masih beli/nyetok juga. Soalnya anak Mbah Wir yang meneruskan setahu kami juga punya profesi lain.

  26. sayang ujan…. 😦

  27. liputan yang menarik,sehingga menambah wawasan tentang persepedaan internasional.mungkin gak ya di negeri tercinta Indonesia,bisa tercipta situasi seperti penggunaan sepeda di negara maju (Belanda).
    @Trims Om Farid atas liputannya
    @Trims Om Wongeres atas postingannya.

    • Terimakasih Mas Rudie. Saya kira harapan Mas Rudi juga harapan kita semua. Mudah-mudahan bisa Mas. Hanya saja karena menyangkut perubahan perilaku, prosesnya pelan, jadi kita mesti bersabar. Dan untuk menjaganya agar tidak makin pelan, kita perlu tetap bersepeda dengan gembira sejak sekarang.

  28. Dari negri orang kita ambil yang baik dan kita lupakan yang tidak pas dengan kita.

  29. @P’e Sultan
    bener pak, yg dr negri orang barat mm tdk cucok ukurannya dgn kita. kecuali yg msh serumpun. hehehe… 🙂

  30. Kalau ada yang mau barteran sepeda dengan kangkung mbok saya dikabari. Lautan kangkungku biar jadi lautan sepeda.
    ngimpi ora to aku……

  31. ga seperti di indonesia yang semua harus pake kendaraan motor atau mobil

  32. kl ad info kerja di belanda dong bagi2 ini no tlpx 081944886944

  33. d sana pake speda smua karena sudah sadar kemjuan jaman brdampak buruk.. motor mobil dsb.. itu karna sudah trjadi d sana.. d indonesia org2nya blm berpikir jauh ke depan.. atau ada yg sudah ??

  34. Sepedanya itu lho…..kapan yo aku punya sepeda yg “dari Belanda”?
    Kalau orang Indonesia (termasuk OPOTO….he he he he..) naik sepedanya ugal ugalan, berarti memang diajari sama orang Londo…….wis to ngaku wae…..

  35. lha tinggal tindak wonten “golo” to Ki Ronggo……..mbok bilih kathah corak ipun…..he..he…”hire dab Sahid”?

  36. sepeda dan kearifan lokal

  37. Ping-balik: #490 Belanda, belajar dari filosofi lumut : mengubah keterbatasan menjadi kekuatan | KOMPETIBLOG 2013

Tinggalkan Balasan ke onthelpotorono Batalkan balasan