TPA Piyungan: Memburu Keindahan di Lautan Sampah

Semasa kecil dahulu, di kebun belakang rumah Nenek yang luas selalu ada lubang galian yang disebut blumbang, tempat seisi rumah membuang sampah. Yang disebut sampah ini tak lain adalah guguran dedaunan yang mengotori halaman, daun pisang pembungkus pepesan, daun jati pembungkus tempe, atau daun ploso pembungkus tape yang dibeli Nenek di pasar. Sesekali ada juga kertas merang (jerami) tipis pembungkus roti. Sampah lainnya adalah kulit pisang, kulit nangka, dan sampah-sampah organik lainnya. Setiap kali blumbang sampah ini penuh, Nenek akan meminta seseorang menimbunnya dengan tanah, lalu membuat galian lubang baru di dekatnya. Begitu seterusnya sehingga kebun belakang itu selalu subur berkat kompos alami ini.

Menyusuri-jejak-sampah-01

para pemburu sampah keindahan

Kebiasaan membuat blumbang sampah itu sekarang mungkin sudah tak ada lagi. Saat ini, bangunan rumah rata-rata tak lagi menyisakan halaman dan kebun belakang. Orang pun cukup menaruh tong sampah di depan rumah, lalu dua hari sekali petugas sampah akan mengambil sampah-sampah yang sebagian besar berupa kantong dan kemasan plastik itu untuk dikumpulkan di area penampungan. Dari sana, truk-truk besar akan mengambil dan membawanya ke tempat penampungan akhir.

Didorong rasa ingin tahu di mana muara tempat semua sampah itu berakhir, pada Minggu pagi, 18 Oktober 2009 lalu, komunitas Opoto (Onthel Potorono) ngonthel bareng mengikuti jejak sampah. Pagi itu kami pun mengayuh sepeda onthel kami lewat belakang Kids fun, menuju Dusun Ngablak, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Banyaknya teman-teman muda yang bergabung membuat kami semakin bergairah mengayuh onthel kami dengan semangat tinggi.

Menyusuri-jejak-sampah-02

pendakian dan pelacakan jejak sampah

Sambil menikmati perjalanan, kami terus mengikuti ceceran sampah yang sesekali tampak di jalanan aspal. Sampah itu mungkin tertiup angin dan tercecer dari truk-truk pengangkut sampah yang lalu-lalang dengan meninggalkan aroma tajam. Semakin banyak ceceran sampah kami temui, jalan pun menjadi semakin mendaki.

Beberapa perjalanan mendaki yang kami lakukan selama ini biasanya akan membawa kami ke tempat tertinggi, area yang biasa disakralkan sebagai tempat candi-candi yang didirikan untuk kepentingan pemujaan. Tetapi kali ini, jalanan mendaki ini membawa kami ke sebuah lautan sampah! Benar-benar lautan sampah, tempat yang rata-rata orang tak ingin melihatnya. Inilah Tempat Penampungan Akhir Sampah Piyungan.

Menyusuri-jejak-sampah-03

memandang lanskap kota penghasil sampah dari jembatan timbang

TPA Piyungan ini setiap bulan menampung tak kurang dari 8.8 ribu ton sampah dari tiga wilayah, yaitu kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Sungguh bukan jumlah yang sedikit. Sampah ini ditimbun dalam satu lokasi yang cekung, lalu dipadatkan, dan setelah itu secara berkala akan ditutup dengan tanah. Ini mirip dengan cara konvensional. Tetapi, sampah-sampah ini bukanlah melulu sampah organik yang mudah terurai, sementara di TPA Piyungan tidak dilakukan pemisahan terlebih dahulu antara sampah organik dan anorganik. Untunglah, di TPA Piyungan ada berpuluh-puluh pemulung yang berkumpul dan siap memilahkan sampah-sampah tersebut, khususnya yang memiliki nilai ekonomis sehingga bisa dijual kembali.

Menyusuri-jejak-sampah-05

banyak jalan menjemput rejeki

Menurut pengakuan mereka, bekerja seharian di sana setiap orang bisa mengumpulkan plastik, kaleng/besi, kertas, atau botol hingga 30 kg. Hasil kerja mereka lalu dikumpulkan dalam bedeng-bedeng di pinggiran lokasi yang berbukit-bukit, dan setiap sore akan dijemput oleh para juragan untuk dijual kembali guna didaur ulang. Sisanya, sampah-sampah itu dibiarkan tetap di tengah dan menjadi santapan beratus-ratus sapi serta kambing yang sengaja dilepas di sana tanpa harus digembalakan.

Semula terasa sulit bagi kami untuk percaya, bagaimana mungkin para pemilik sapi ini bisa mengingat ciri-ciri sapi miliknya? Tetapi kami lalu beranalogi bahwa di parkiran sepeda seluas apa pun kami pasti juga akan mengingat dengan baik yang mana Fongers, Simplex, Gazelle, Sunbeam, atau Humber kami. Hanya saja, ada kelebihan sapi-sapi ini dibanding sepeda kita, yaitu setelah terbiasa digembalakan di sana, sapi-sapi itu  akan mampu mengingat jalan pulang sehingga setiap sore mereka akan pulang sendiri ke kandang masing-masing.

Di TPA Piyungan juga tersedia kolam pengelolaan lindi (leacheate), yaitu cairan yang keluar dari sampah. Selain itu, pipa pengendali gas buang, sistem drainase, dan juga lapisan kedap air juga disiapkan. Menurut Pak Muji, petugas jaga yang kami temui, di musim penghujan sampah-sampah ini akan lebih berbau. Tetapi, nanti dengan menutup sampah yang dilakukan secara berkala, potensi gangguan lingkungan itu mestinya bisa diminimalkan.

Menyusuri-jejak-sampah-04

keindahan bisa muncul di mana saja, juga di lautan sampah ini

Cukup lama kami berada di TPA ini, memandangi betapa sampah-sampah itu terhampar luas memantulkan cahaya matahari, berkilauan dalam warna keperakan, kontras dengan latar belakang perbukitan yang meranggas di bawah kebiruan langit akhir kemarau. Ratusan ekor sapi seperti mabuk warna, bergerombol dalam kerumunan yang rapat sehingga gerakan kecil dari seekor sapi yang terkejut akan menggerakkan seluruh kerumunan, putih bergulung bagai gelombang, membuat kambing-kambing terpencar berlarian bagai pecahan ombak yang terhempas ke tepian. Para pemulung dalam baju warna-warni bergerak semakin ke tengah, berdiri dan membungkuk timbul-tenggelam bagaikan para peselancar yang bergelut menaklukkan ombak. Di luar semua itu, bedeng-bedeng beratapkan plastik dan kain warna-warni yang menyolok mata, berjajar membentuk garis imajiner yang membingkai keindahan panorama ini. Panorama lautan sampah!

Menyusuri-jejak-sampah-06

tahapan pascakonsumsi yang dilupakan

Berlama-lama di lautan sampah rupanya telah membuat kami semua kelaparan. Oleh karena itu, kami pun segera meluncur ke bawah untuk melanjutkan perjalanan. Beberapa sepeda yang kampas remnya mulai aus terpaksa dituntun di turunan yang curam. Perlahan kami kembali menyusuri jalanan beraspal dengan sawah yang hijau di kanan-kiri, dilatarberlakangi bukit-bukit dalam warna-warni cahaya pagi.

Menyusuri-jejak-sampah-07

loket unik yang familiar dan antrian Opoters yang lapar

Perkampungan-perkampungan yang tenang tapi ceria lengkap dengan anggukan kepala dan senyum ramah warganya pun kami lalui,  sebelum akhirnya kami memotong jalan dari arah Jejeran menuju Pleret. Di sana, di warung Soto Jowo langganan kami, telah menunggu soto hangat dalam mangkuk-mangkuk putih yang mengepulkan aroma membangkitkan selera.

Menyusuri-jejak-sampah-08

sumber energi kami: soto!

Meskipun sederhana, tetapi warung ini selalu tampak bersih, dengan makanan yang semuanya diberi tutup saji sehingga menjadi salah satu alasan bagi kami untuk mampir di tempat ini. Soto ayam maupun soto sapi, aneka gorengan dan kerupuk telah menggantikan semua rasa lelah dan lapar menjadi kenyang dan bugar kembali.

Menyusuri-jejak-sampah-09

lingkungan yang ramah tanpa sampah

Akhirnya kami pun pulang beriringan. Kali ini kami telah menyaksikan banyak keindahan. Keindahan alam lingkungan, keindahan kerja keras orang-orang di TPA, juga keindahan kebersamaan kami sendiri.

Hidup ternyata bisa seindah ini. Terlalu indah untuk sekedar kita lalui dengan ketidakpedulian sambil terus menyampah di sana sini….

***
Terima kasih dan salut buat sahabat-sahabat muda: Evan, Chika, dan Yoga. Chika gadis hebat juga ya, mendaki sejauh itu tanpa keluhan 🙂

89 responses to “TPA Piyungan: Memburu Keindahan di Lautan Sampah

  1. sampah..soto…soto…sampah… sampah soto…. soto sampah….. pusingggggg milihnya nich…

  2. Bener pak, yang buang sampah pada tempatnya berarti bukan orang sembarangan. Lah nek nyoto sembarangan berarti orang sembarangan…

  3. apapun objek yang di kunjungi soto menu wajibnya !

  4. Kemanapun Opoto pergi selalu berakhir soto, membuat jadi penasaran soto kegemaran Opoto, semoga suatu saat bisa sowan ke teman-teman Opoto sambil nyicipi soto, salam kenal dari Surabaya

    • Salam kenal juga Mas Dony. Ada banyak alasan kami menggemari soto, antara lain karena semua bisa makan dan yang penting lagi: semua bisa bayar! Haha…

      Kalau soto sih lebih dekat ke Lamongan. Tapi kalau Opoto adanya hanya di kampung Potorono Mas. Semoga kapan-kapan bisa ketemuan.

      Salam hangat dari kampung Potorono.

  5. Liputan di TPA siiiiip…..kali lain kita bisa ke t4 yang lebih extreme lagi pak, gimana kalo kita ke…..pengolahan limbah pabrik?
    Soto nya siip…..apalagi Siti nya, ditanggung pasti beda mie…..nya. Apa hayo bedanya pak?

    • Halah, kok extreme2. Wisata gurah juga? Lha kalau lagi ‘blokekan’ gitu apa indahnya, coba?

      Maksudnya gimana? Soto sama Siti? Sotonya kemarin mie-nya putih. Kalau Siti… itu nama bakul sotonya bukan? Belum sempat kenalan sih.

  6. @ pak dhe bei
    berarti kalau sembarangan nyoto pasti orang sembarangan lagi nyoto sembarangan…
    halaah… embuuuh ahhhh…mumet aku….

  7. Beda banget sama TPA Bantargebang…kalo di bantargebang banyak orangnya…kalo ini banyak sapi nya ha..ha…

  8. Saya juga pernah mengunjungi lokasi ini…sebetulnya landscape perbukitannya cukup bagus, namun secara umum tampak gersang dan tentu saja tetap ada masalah bau.
    Salut untuk Opoto yang ternyata mau juga menyambangi tempat “unik” ini he..he..he..

    • Pemandangan aslinya jauh lebih indah, Pak Sahid. Terutama ketika matahari bersinar terik. Padahal kamera pocket saya justru hanya bisa memotret layak saat matahari tertutup awan agar tidak ngeflare berlebihan. Sayangnya banyak kontras yang lalu jadi hilang.

  9. @ Om Max’s

    Walaupun nyoto sembarangan dan sembarangan nyoto yang penting sepedanya bukan sepeda sembarangan, hehehe….

  10. sek blm bisa komen, kususu neh …..
    yg jelas Opoto selalu punya rute yg unik. Tapi awas, ingat akan batas ke”mampuan” pit lawas.
    walaupun yg pake tenaga muda, tapi “PENTIL”nya tetep aja TUA.
    Ya, Mr agung max mm terlalu sibuk ngelas stang di bel, jadi kelupaan ngecek yg vital satu itu. Untung P.Jonis bawa serepan, dan dapat pinjaman pompa.

    @DONI sby.
    Monggo Mampir mas, Sy surabaya punya loh, arek Bendul Merisi yg terdampar di Pulau POTORONO.

  11. @YOGA
    mulai skrng kamu harus jaga stamina !!!
    karena terbukti ternyata Chika sangat Tangguh !
    takutnya nanti kau “Kalah”. 😆

    EELOOHHH, onok Fongers nyemplung nang lautan sawah rek. Kekno aku ae opo’o ..

  12. Hebat tenan konco2 OPOTHO Pancen oye..hehe dadi kepengin aku..

  13. @Pak dhe Bei… dik bella, sebenarnya malu kalau dikatain bukan sepeda sembarangan , lha biar dikatain cantik….. makanya dik bella pakai aksesoris yang lain dari yang lain… haaa..haaa…

  14. @ cak erwin
    udah tak beliin dop sak “dus” cak…. kemarin beli di mas gandung tinggal 2, otmatis dibungkus sekalian dusnya cak …. huaaa…haaaaa… 🙂

    • O, kemarin bawa-bawa dus aqua itu isinya bohlam dua biji to?

      Mas Gandung itu, meskipun untuk detail setiap merek onthel tidak begitu expert, tapi pemahaman akan prinsip sepeda secara umum sangat bagus. Ilmunya kan juga sudah turun-temurun. Kapan-kapan akan saya mintai tips-tips perawatan onthel. Pasti keren.

  15. Dari beberapa tampilan gambar, yang paling menarik justru gambar sapi beserta sampahnya. sangat natural, artistik…yang kayak gitu kalo ada lomba fotografi mesti masuk nominasi hehehe

  16. Emang ekspresi Pak Agung ngantri soto itu gak natural ya? Artifisial? Dibanget-bangetke, biar dikasihani sama penjualnya, trus didahulukan, ditambahin daging ayamnya, pulang disangoni… 😀

  17. sampai rumah isih “di sengeni” …… haaa…haaaa..haaa

  18. X ini Opoters menyuguhkan satu hal yg berbeda,tapi tetap luar biasa. TPA tempat yg bagi sebagian orang “menjijikan”karena kesan Kotor,Kumuh dan tak ketinggalan Bau,tp buat Opoters merupakan suatu bentuk keindahan tersendiri (karena mungkin sebenarnya ditempat itu banyak pesan tersembunyi).Dan suatu pembuktian “kebersamaan”dari Opoters,walaupun tujuan Touring ke TPA,tapi kebersamaan tetap terjalin meninggalkan identitas serta embel-embel yang disandang masing2 crew dalam beraktifitas se hari2.
    Itulah Onthelist sejati,yang selalu berjalan beriringan dan sehati.

    • Benar sekali, Mas Rudi. Keindahan tercipta karena rasa syukur atas apa yang sudah ada tanpa harus berhenti untuk terus mencari peluang-peluang baru demi pencapaian yang lebih baik.

      Kondisi pemulung di sana mungkin belum begitu menggembirakan. Terbukti beberapa orang menyatakan malu untuk diambil gambarnya. Tapi, waktu kami tanyakan kepada penduduk sekitar, adanya TPA jelas memberikan peluang kerja baru, bahkan memunculkan para juragan yang taraf hidupnya semakin membaik.

      Konon, Shimizu Jepang sudah siap berinvestasi untuk mengelola gas metana yang dihasilkan dari sampah-sampah ini. Meskipun begitu, rasanya kita tidak perlu berlomba-lomba memperbanyak sampah agar dapat menjual metana.

      Tetap semangat, Mas Rudi. Salam hangat dari Potorono.

  19. Sawah, Soto dan Sampah memang masih ada hubungannya, ga bisa dipisahkan begitu saja.
    BRAVO buat anak2 generasi muda yg sudah mau ikut gabung ngonthel bareng.
    Maaf ga bs ikutan pas lagi ada tugas jaga..si kecil (my Lovely Baby)

  20. Wah..makasih om sampe dibilang hebat gt.hihi
    capek’a ilank om,krn liat pemandangan yg ga biasa diliat.*gunung sampah salah satu’a*
    tp tetep seru om,
    kapan”boleh ikutan lg yaa om. 🙂

    • Iya Chika, dan salah satu lagi pemandangan lainnya yang gak biasa dilihat adalah “oom2 jadul yang gokil abis” ini ya. Hehe…

      Tetap semangat, sukses selalu.

  21. Saya sangat setuju dengan Narsum, akhirnya saya juga teringat masa kecil, karena dibelakang rumah Eyang juga ada blumbang yang berguna untuk menampung sampah, bahkan ketika musim hujan menjadi ajang kontes “khodok kinthel” saling bersahutan merka bersyukur kepada Tuhan ketika diberi hujan. Menyimak cerita yang tersaji rasanya tidak pernah ada rasa bosan dari apa yang disajikan oleh rekan “OPOTO” bahkan menjadi sesuatu yang wajib setiap senin pagi ngintip ke blog OPOTO, ada berita apakah gerangan, ternya benar adanya bahwa setiap senin pagi pasti ada nuansa baru dari hasil perburuan dan menjadi sesuatu yang wajib diintip, Selamat dan terima kasih atas infonya, Sungkem kagem kru “OPOTO”

    • Wah, nostalgianya jadi makin hidup ya dengan kontes kodhok ngoreknya Pak Prayoga 🙂

      Sebenarnya uploadnya tidak selalu hari Senin lho. Biasanya malah Rabu atau Kamis, bergantung pada kesempatan yang ada. Tapi senang sekali kalau cerita kami bisa terkoneksi dengan sahabat-sahabat di mana pun berada.

      Salam kodhok ngorek dari kampung Potorono.

  22. Wah, ini salah satu kelebihan OPOTO…
    Meskipun objek-nya sampah, tapi tidak terlihat kesan yg jorok & bau… melainkan pemandangan yg unik, ada sapi, sampah berbaur dgn sepeda…
    Kalau OPOTO selesai turing selalu diakhiri dgn soto… Kami dari rekan2x PODJOK biasanya tur malam hari dan diakhiri dgn BAKMI DJOWO…
    Semuanya terasa nikmat stlh ngonthel…

    • Mas Bagus PODJOK, kami sudah cuci tangan dulu lho sebelum menyantap soto Jowo. Hehe…

      Meskipun sekarang sering touring dadakan malam hari, acara ngonthel bulanan sahabat PODJOK apakah masih rutin diagendakan?

      Kita di Solo kok malah nggak ketemu ya Mas…

  23. Kapan-kapan kalo pas pulang ke boyolali,ada waktu dan doku rasanya kepingin ikutan ngonthel malem bareng sedulur Podjok, sekalian refresing ngilangi stres…sungkem kagem kerabat Podjok.

  24. besok minggu trayekna kemana ney om,,,heheheee

  25. wheheheheeee,,,,
    setuju om,,,
    kemana aja sih ayooo,,,,
    asal boleh nebeng sepedanya om max lagi,,,hehehee

    btw makasih banyak buat all opotho’ers,,,,,

  26. mas Nur..kemarin dpt obat nyamuknya kan..salam

    • Waduh Den Mas Rendra, mohon ampun. Karena keasyikan nonton klithikan dan ketemu teman-teman (Mas-Mas: Heru WC, Orang Pinggiran, Irmanof, Fahmi, Diar, Naruto, dll) kita gagal ngobrol. Sampai siang kami bahkan gagal sarapan juga. Haha… Tahu-tahu Panjenengan sudah menghilang, dibantu teman-teman mencari juga nggak ketemu. Sekali lagi mohon maaf…

  27. joni kamandanoe

    WAH NYESEL KEMARIN GAK JADI BELI BEL KODOK ……KROK KROK KROK PADAHAL SETELAH DIPIKIR PIKIR ENGGAK MAHAL LHO CUMA MINTA 75 SAJA. YAH LAIN KALI KALAU ADA EVENT LAGI.

  28. joni kamandanoe

    Event di SOLO hari minggu kemarin klitikannya sangat bagus semua barang yang langka pada nampak.
    Sayang jalur ngonthel kok dirahasiakan,mungkin demi keamanan soalnya sepedanya bagus-bagus sayang kalau dibegal di jalan wha hah hah hah setuju to pak nur ,mohon maaf semuanya ini hanya guyon lho nuwun.

    • Haha… Pak Joni lucu. Tapi masuk akal juga. Jadi, bukan sekedar memberi surprise, tapi juga melindungi sahabat-sahabat onthelis yang sepedanya bagus-bagus tadi ya.

      Soal aksesoris onthel, Pak Agung masih sedia banyak kok. Bel kodhok asli (jan asli kodhok tenan) berikut lampu karbit yang buat nyari kodhoknya itu, juga lampu ting (ting plethot) semua komplit dengan harga murah. Ta’iye Pak Agung???

  29. Pas di Solo, mohon maaf nggak sempat ketemu sama Mas Noer dkk dan Mas Rendra. Saya hanya bisa datang Sabtu malamnya terus kabur lagi ke Yogya karena udah dapat yg dicari. Kapan ya ada event semacam itu lagi

  30. ada juga Gir obat nyamuk cap “KINGKONG”. kunci jam seiko NOS (gembok dikalungi jam dinding), boncengan “HOPMI” rasa ayam bawang… haaaa…haaaa..haaa..

  31. wah Mas Nur,sy yg mohon maaf krn hrs buru2 kabur tanpa sempat pamit ( ke bndra), ternyata saking asyiknya di klithikan sampai lali wkt, untung ada delay 1 jam…hehehe.
    sebenarnya kepengin lg ngrumpi kaya wkt dijogja sama mas Max…( tentunya sambil nyawang bellas simplexnya mas Max)… kpn2 kita sambung lg ya mas Nur..
    mas Bagus..mlm minggu sy sampai jam satu lho sama temen2 di klithikan lho>>penjenengan ke jogja to..wah jd batal ketemua ya.
    salam

  32. salam buat Chika.. Ciayoooo!! hiikkss

  33. wongeres : kapan lagi ada acara pit2an pakde?

    • Tiap Minggu pagi kami selalu ngonthel kok, kecuali ada acara-acara khusus seperti Minggu lalu, karena kami melawat ke Solo untuk bertemu sahabat-sahabat onthelis dari berbagai kota.

  34. wahhhh aku kok ga diajak…..
    curang…..

  35. Mas Rendra, Saya hanya sebentar di klitihikan Jam 17.00-19.00 setelah itu njagong manten di daerah Baki Sukoharjo dan langsung balik ke Yogya, jadi tidak sampai malam

  36. Salam… ontel potorono
    terus semangat dan berkarya melalui paguyuban ontel potorono dengan selalu menapak tilasi dan menampilkan khasanah budaya bangsa yang adi luhung dan karya-karya anak bangsa yang gemilang… Maju terus Ontel Indonesia…n Maju terus Ontel Potorono….
    salam ontels…..

  37. ontel bkin hdup lebih asoy om…..
    apalgi soto nya…ajib tenan lah….
    maaf td telat bangun om…akibat bergumul dg para penggila poker blok E sampe jam 2 pagi…hehehehe

    • Bikin hidup lebih asoy (halah, ini istilah gaul tahun berapa? :-)) tapi bikin tidur kurang nyenyak ya? Hahaha… Artinya juga, kegiatan ngonthel itu nggak sederhana juga, kan? Butuh manajemen waktu. Lha untung nggak terjadi sesuatu di jalan gara-gara ngantuk itu, misalnya. Malah Pak Cip yang jatuh digoyang jembatan. Hehe…

    • ikut minta maap,,,,,,,,heheheeee

  38. Wadhuh, walaupun jarang kirim comment, tapi saya sering berkunjung ke website opoto, karena masih saudara. Saya tinggal di sekitar kotagedhe, jadi ya terbilang masih tetangga dekat. Luar biasa indah senandung mas Nur ini, bolehkan suatu saat ikut nggabung ngonthel bareng Opoto. Saya merindukan jogja bisa menjadi pelopor ekowisata wilayah urban. Seperti Pak Sahid, sayapun pernah mengunjungi daerah itu, pertama memang terdorong rasa penasaran, kemana sich sampah kota jogja ini berujung?

    Sungguh potensi kota kita tercinta sangat kaya, eksotik…dll

    salam onthel, selalu…..

  39. Sumangga Mas Agus eh, Mas Patub. Kami akan senang sekali kalau bisa mengayuh onthel bareng-bareng. Keindahan itu datangnya ya dari objek/tujuan serta kebersamaannya itu. Masih banyak hal yang terlihat, tapi mungkin belum kita lihat… 🙂

  40. om-om,,,,,,,
    kaos2 buat the Jong Opoto bikin donk,,,,,,

  41. mas patub = mas agus crab dudu?
    pakdhe nur, mangke menawi wonten wedal kulo tak nderek pit2an

  42. wah…saya kan sekjen rt 06…harus tetep semangat wlaupun ngantuk berat..hahaha..soto telah membuat mata saya terbuka lebar..hahaah…
    pak cip jatuh gara2 liat ibu2 yg lg mandi di sungai om…pisss
    iya om…evan mau minta ijin..
    mau bkin disen kaos opoto yg beda….tp tetep pake kambang opoto…boleh tidak???

    • Weh, senang sekali kalau yang muda (baik usia maupun keikutsertaannya) langsung bersemangat begitu menghayati nikmatnya bersepeda. Bikin saja. Nanti kami lihat dulu desainnya ya. Kalau bagus, kita semua ikutan. Juga merchandise yang lain akan kita bikin.

      Catatannya: karena rute kita selalu melewati kampung-kampung dengan banyak penghuninya yang ramah bersahaja, maka penampilan pakaian maupun perilaku kita seyogyanya tidak akan menjadi sesuatu yang asing atau mengganggu serta mengusik nilai-nilai moral/budaya mereka. Jadi, desainnya yang natural saja. Kreatif tapi membumi. Menantang, kan?

      Pak Agung, Pak Erwin, Pak Aula, Pak Tono, Pak Joni, juga teman-teman lain, ada komentar?

  43. kalau pemuda pada mau berkreatifitas… kl sy mendukung om noer… kmrn sy sdh sempat melihat sekilas “desain mereka”… kelihatannnya OK…. desainnya sederhana dan kelihatan menonjol unsur clasic-nya…

  44. desain pake gambar simplex cross frame om,,,
    cm belom jadi,,,
    masih desain mentah,,
    tp segera diteruskan,,,
    nanti hasil desain kami kirim ke sesepu opoto dulu buat dapet legalitas,,,heheheeeee

    yap,,,tantangan om noer kami terima….
    *owkey van……..

    Jong Opoto

    • Wah, mesti nyari Simplex crossframe dulu nih, biar nyambung. Hehe…

      Yang paling sepuh itu Eyang Tjiptono lho. Ayo, yang tertib! 😀

      • aku ada om,,,
        tp gambar thook,,,heheheheeee

        weeeh,,,,,sungkem dulu sama eyang dunk,,,hehehee

      • onthelpotorono

        Kemarin ada usulan, Simplex Cycloide yang bell-nya dilas ke stang itu patut menjadi icon Opoto. Malah kalau perlu, begitu setiap sepeda kita sudah ketemu bell yang cocok, segera dilas saja mengikuti icon tadi. Gimana, hayoo??

  45. lha… kemarin ketemu “BELLa safira” om… juuelaaas apik, wutuuh, cantik dan mempesona…. tapi apa ya tetap mau di las jg… emoh aaaach….. hee…heee…

    • Pak Agung, dengan mengakomodasikan semua keinginan Opoters di awal dulu, kaos buat ngonthelnya kan maunya pakai krah, longgar, warna cukup kontras tapi juga tetap matching dengan alam sekitar kita yang ijo royo-royo, jangan hitam karena panas dan ada yang alergi hitam, lengan pendek dan boleh disambung decker. Nah, di luar kriteria itu tetap bisa kita pakai sebagai merchandise ya. Buat ke bengkel, ngapel, belanja, atau ngonthel malam, dsb. Sepertinya begitu?

      Demokratis itu rumit juga ya. Lha tapi ya nggak apa-apa. Kita pakai sendiri, untuk kepuasan hati kita semua. Hehe…

      • weeeh siap,,,
        konsepnya back to nature,,,
        tp tetap dengan semangat ngonthel,,,,,
        nanti hasil desain dikasihin dulu biar fix,,,
        trus baru di cetak di kaos yg berkerah,,,,

  46. oke siap om….
    begundal opotho siap membawa tema itu ke dalam desain kaosnya……

    Walah. Lha kok ada impor istilah “begundal” iki boso opooo? 😀

  47. Bellassetang mau di cetak ke kaos..!!???
    Betul pak , memang ada yg alergi dgn kaos hitam. 🙂

    • Hahaha… ada usulan dari Pak Joni: gambar yang ditampilkan harus merefleksikan komunitas kita. Kalau di Potorono nggak (belum, kali) ada crossframe ya jangan tampilkan dulu. Gitu Pak Joni? Ayo sampaikan sendiri komentarnya…

  48. bener pak de, jangan pakai kaos warna hitam, itu jadi bella sungkawa ,
    yen onthel hitam? lha itu…….uapik tenan, punya siapa tuh………..mau dijual nggak?

  49. dolan TPA maneh yuk…

  50. asiiik bgt yhaa..mau dunk kpn2 gabung 🙂

  51. udaa pernah kesana beberapa kalii buat konservasii 🙂
    pengabdian masyarakat dan lingkungan dri mapa MAJESTIC 55
    jadii sdikit tauu jugaa keadaan dsana 🙂
    ngonthel nya ituu loh yg asiik…:)

    • Ke sana beberapa kalii…? Oh, bawa truk juga ya? Haha… (bercanda lho). Btw, bukan cuma ngonthelnya doang yang asik. Nyotonya juga ajiib…

  52. sebagai konsultan teknik bidang persampahan di pplp kalsel kami akan mengunjungi tpa ini besok selasa, semoga kami mendapat pembelajaran yg banyak di tpa ini

    • wongeres OPOTO

      Pak Widi, Salam kenal. Semoga menjadi pembelajaran kedua belah pihak, karena TPA Piyungan juga tentu masih menyimpan banyak PR untuk perbaikan ke depan.

  53. Wih, tulisan ini mendadak muncul di timeline…
    Jadi kangen ngonthel dan nyoto bareng Opotho!

Tinggalkan Balasan ke evan itu sekjen rt Batalkan balasan