Nganggo Suwe: Ngalap Berkah Perbedaan di Warung Angkringan

Perbedaan itu berkah. Sekilas, kalimat ini hanyalah sebuah retorika yang biasa dipakai untuk melerai orang-orang atau kelompok yang sedang bertikai. Akan tetapi, bagi kami komunitas Opoto (Onthel Potorono), hal ini nyata adanya. Segala sesuatu pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan bergantung pada konteks kebutuhannya. Sepeda onthel kami yang tidak secepat kendaraan bermotor, misalnya, pada konteks tertentu justru memiliki banyak kelebihan. Kami jadi lebih detail mengamati lingkungan yang kami lalui.

nganggo-suwe1

berpose di plengkung gading, sebuah cagar budaya yang patut dijaga

Banyak perbedaan yang terbukti justru memberi berkah kepada kami. Hari Sabtu, 10 Juli lalu, kami juga mencoba sesuatu yang berbeda. Kami ngonthel pada hari Sabtu, dan waktunya pun malam hari. Tentu saja komentar orang kali ini pun berbeda pula: “Kurang kerjaan!” Haha…

Setelah masing-masing melengkapi sepeda dengan lampu depan-belakang, pukul 22.00 WIB kami berangkat ngonthel ke kantor pos. Kerabat Podjok yang biasanya mangkal di sana tampak sudah bubar, konon bergeser ke alun-alun. Tetapi ketika kami menyusul, kami hanya menemukan jejak-jejaknya saja.

Akhirnya kami bergabung dalam kerumunan, menikmati pergelaran kethoprak yang dipentaskan di panggung kecil depan keraton. Sebuah hiburan gratis yang tampak dinikmati oleh orang-orang di sana, utamanya para penarik becak yang memang sudah saatnya mengaso. Mereka memarkir becak berjajar, menikmati kethoprak dari dalam becak sambil berselimutkan kain sarung yang hangat. Sungguh sebuah momentum yang mewah.

nganggo-suwe2

aksi freestyle ABG (‘anak-anak’ berbadan gede)  🙂

Demi ‘stabilitas dan keamanan domestik’, sesuai janji kepada orang di rumah untuk tidak berlama-lama keluyuran malam hari, kami pun segera bergeser. Apalagi dingin udara malam mulai membuat perut kami lapar. Maka, kami menuju alun-alun selatan, lalu berhenti di Plengkung Gading yang juga dikenal bernama Plengkung Nirbaya, salah satu pintu masuk menuju ke jeron beteng (dalam benteng) Keraton Yogyakarta yang dibangun sejak masa Hamengku Buwono I.

Plengkung yang ada di arah selatan Keraton ini dari sisi letaknya merupakan pintu keluar bagi jenazah Sultan yang mangkat. Oleh karena itu, Sultan yang masih hidup tidak diperkenankan melewati plengkung ini. Dahulu, keberadaan plengkung ini merupakan bagian dari Beteng Baluwarti yang dibangun Sultan Hamengku Buwono I sebagai tandingan atas dibangunnya Benteng Vredeburg oleh Belanda.

Karena kami bukan Sultan, malam itu kami bebas keluar masuk plengkung ini, bahkan berpose bersama layaknya para ABG. Setelah melampiaskan hasrat narsis itu, barulah kami menuju jalan Pramuka ke kawasan Giwangan mencari warung makan. Di tikungan pertemuan jalan Pramuka-Tegalgendu itulah kami menemukan apa yang kami cari, sebuah warung wedang dan makanan dengan konsep angkringan yang lain lagi.

nganggo-suwe3

rasa lapar adalah bumbu masak terbaik

Jika di zaman yang serba bergegas ini orang ramai-ramai menyajikan makanan fast food yang serba cepat, warung ini malah menuliskan nama warungnya besar-besar: Warung Wedang dan Makanan “Nganggo Suwe” (pakai lama). Bagaimana tidak lama. Nasi yang disajikan harus dibungkus daun pisang satu-satu, lalu dibakar dulu. Mana antriannya pun tak kunjung surut.

nganggo-suwe4

nasi bakar terhidang, rasa lapar menghilang

Benar-benar sebuah differensiasi yang berani untuk sebuah warung makan. Perbedaan cara layanan itulah yang justru dijualnya untuk menyasar konsumen tertentu saja, yaitu orang-orang yang ingin membunuh waktu sambil ngobrol dengan sesama pelanggan, atau para mahasiswa yang butuh udara segar setelah berjam-jam belajar. Bahkan beberapa pasang suami-istri dengan pakaian casual pun tampak mampir pula. Wajah mereka yang hadir di sana semuanya tampak santai, dan sepertinya siap menikmati setiap menit dengan sabar. Kami jadi terpikir: alangkah matching-nya malam ini. Malam hari di Jogja, bersepeda onthel, dan menikmati nasi bakar yang disajikan layaknya sebuah masterpiece sehingga harus menunggu lama.

nganggo-suwe5

aneka makanan siap santap, jahe panas yang dahsyat

Nasi bakar masterpiece itu ternyata tidak mengecewakan. Disajikan hangat-hangat dengan aroma seperti santan dan daun pisang terbakar, dilengkapi sambal dan dua ekor ikan…teri, rasanya sungguh gurih dan nikmat. Beberapa teman melahapnya dengan lauk tongseng keong, telur puyuh, atau aneka gorengan.

nganggo-suwe6

perut mulai kenyang, purchasing & finance mengurus pembayaran

Lagi-lagi ini sebuah bukti bahwa perbedaan konsep ini ternyata juga menjadikan berkah bagi kami semua. Bagi pemilik warung yang tak pernah sepi pengunjung, bagi pelanggan yang bebas berlama-lama sambil begadang, dan bagi kami yang kelaparan menjelang dini hari tetapi masih bisa menemukan nasi. Oh, alangkah indahnya hidup ini 🙂

**
Salam hangat buat semua kerabat di mana saja yang rela begadang setiap malam untuk menggelar angkringan, menyediakan minuman hangat dan makanan bagi orang-orang yang masih harus menyelesaikan tugasnya di malam hari. Pengalaman malam itu membuat kami menyadari betapa berartinya kehadiran segelas wedang panas dan sebungkus nasi. Salam dari kampung Potorono.

89 responses to “Nganggo Suwe: Ngalap Berkah Perbedaan di Warung Angkringan

  1. Ngabehi Sak Loring Pasar

    Waah jaan, yoo iki acarane OPOTO sing marake ngangeni wae. Prasojo tur enak tenan

    • Haha… makan teri dua ekor saja rasanya sudah mak nyuuus lho, Pak Dhe Bei. Tapi syaratnya harus ngonthel dulu sampai lapaaaar… 🙂

  2. kurang sotonya!

  3. lone rider pondok kopi

    salam kenal rekan2 OPOTO

    nggowes bin ngontel yg super dupper muantebb..
    bikin kangen Jogja aja nih,.padahal baru 2 minggu lalu saya kesana,..

    YM: iam_greco

    • Dua minggu di Jogja itu setara dengan sebulan di kota-kota sibuk semacam Jakarta lho. Di Jogja kan matahari beredar lebih lambat 🙂

  4. Wah … tiap senin pagi aku pasti ngitip blog nya “potorono” siapa tahu ada yang anyar, dan ternyata benar kali ini berkisah tentang kuliner dan sejarah Plenkung Selatan, dengan info dari rekan kita yang satu ini kadang aku merasakan seolah ikut dan berada diantara mereka, kangen kampung halaman itulah judulnya…. sungkem kagem keluargo potorono.

    • Terima kasih, Mas Prayoga sudi menengok blog ini. Postingnya nggak selalu hari Senin, je. Meskipun diusahakan seminggu sekali. Hehe…

  5. Mas Nur…….. kali ini bener bener keterlaluan, dongenge bikin ngeces tenan…… mggu lalu di Jogja 3 hr, cari cari nasi bakar kok ora nemu……. eh nemune malah di blog OPOTO…. mbok yo kabar 2 to mas………mas…….. hehehe
    salam dari Karawang

  6. @ om rendra
    weleh…om rendra ki… masa 3 hari cari nasi bakar gak ketemu sich ??? … mesti malah ketemu BB65 yach?…. hee..hee…

  7. byuuuh..byuuuuh..byuuuuh…. makannya ueloook tenaaaan….. orang jawa bilang “semego” ….haaa..haa..haaa.. 😎

  8. Wah jaan.
    Saya nyaris tidak kuasa membaca sampai selesai. Tidak tahan. Sekarang jadi faham kenapa makanan Indonesia tabu dibicarakan di sini, Jerman. Semacam isu sensitif. Soale marai mung kepingin, kelara-lara lan ngenes..:) [iki carane gawe gambar ngguyu piye..]

  9. mas wongeres sebuah perjalanan ngonthel malam yang indah, akan tetapi mengapa berangkat dari OPOTO jam 22.00 malam yo kan lumayan jauh mas dari potorono, pas sampe titik nol kerabat Podjok telah beranjak dari pos hehehehehe….sajian angkringan nganggo suwe favorit saya burung puyuhnya mas manteep tenan, apalagi ditemani dengan susu jahe bisa2 ngobrol semaleman ga berhenti. Uppsss…ada yang ketinggalan menu SAREN-nya kayaknya enak bangeet tp sayang ga boleh makan…..salam onthel….

    • Iya tuh Mas. Kami mesti malem mingguan dengan keluarga dulu, lalu setelah ‘wayah sepi bocah’, anak-anak tertidur, kami berkemas ngonthel ke kota. Jauh, mana udara lagi dingin-dinginnya.

      Untung ada wedang jahe yang dahsyat Mas. Dibakar, digepuk, dan dijerang. Seger mak pyar! Hehe… Pulangnya kami lewat persawahan. Sepi, dingin, kekes, tetapi kami ngonthel bergerombol, diterangi lampu-lampu sepeda kami, menciptakan suasana kebersamaan yang mengharukan.

  10. @mas Maxs..bener kok minggu lalu sy luntang lantung dewe di YK, sengaja tilp mas Towil di hari terakhir, karepe ben sinau blusukan… eh malah ga entuk opo opo….tiap malam mung di Raminten thok… rugi deh…. hehehe

    • Walah-walah… sinterklas kok sampai kesepian. Hehe… Apa betul karena semua langsung sumingkir demi melihat kehadiran sinuhun “Alap-alap Samber Fongers”? 🙂

  11. hahahaha….. pitenah tuh mas….
    btw ygb tulisan tentang pit dari jerman apa penjenengan berkenan di share disini mas…..
    pengen ngerti je….nuwun n salam

    • Bukan pitenah, tapi pitedah. Ojo turu sore Kaki, ono alap-alap nyabrang kutha. Hehe…

      Tulisan bersepeda di Jerman dari Mas Farid sangat menarik. Saya baru menunggu tulisan berikutnya tentang bersepeda di Belanda. Lalu ada teman Opoters yang lagi di Jepang juga berjanji mau menuliskan kesaksian tentang bersepeda di Jepang. Nah, pada saatnya akan kami sunting, lalu disajikan di blog ini.

  12. @muscat

    Hooiii… bisakah ikut melengkapi cerita “bersepeda di Saudi?” Bentuk/jenis sepedanya, jalur sepeda apakah ada, adat bersepeda mereka bergerombol atau sendiri-sendiri, dsb.

  13. nun injih mas Wong… sendiko angantu pawartosipun…………. kulo aturi aspodo dhumateng alap alap jalatunda van Potorono hehehe

  14. Ngabehi Sak Loring Pasar

    Waah Pak Rendra lagi main Ketoprak Opoto ki yooo. Kok paseh banget boso Ketoprak Mataraman-nee

  15. hahaha mas Bei ….dos pundi kabaripun…… kapan saged penanggihan wonten Jkt njih…. salam

  16. Ngabehi Sak Loring Pasar

    Kabaripun sae Pak. Saya siap selalu kok untuk bersua. Pastinya kontak lewat email ya pak Rendra.

  17. Omong-omong tentang nasi bakar. Nasi bakar warung “nganggo suwe” Kotagedhe memang termasuk yang enak.

    Untuk alternatif, Warung Nasi Bakar Wirobrajan (perempatan Wirobrajan ke barat, sebelah barat jalan) juga lumayan lezat dengan minuman khas herbal retro klasik “cinnamon” yang berisi rempah-rempah menyehatkan.

    Sebagai pilihan lain, nasi bakar Resto Pondok Cabe di Gejayan atau Terban juga tidak kalah menarik. Jogja-Solo memang surga kuliner karena kita masih bisa dapat makanan yang “enak tapi murah” he..he..he..

    • Pak Sahid, mohon maaf kemarin kami terpaksa gagal gabung dikarenakan banyak hal. Minggu nanti kalau tiada aral melintang kami mau ke Jetis, Bantul, menikmati mangut karedok yang nyamleng. Sudah pernah?

      Mas Max’s, sudah kontak mangutnya belum??

  18. @ Pak Rendra

    Jadi, kalau mau nyari nasi bakar di Jogja, sudah jelas ya siapa yang harus dimintai rekomendasi? 🙂

  19. Bagus Kurniawan

    Bung Opoto, Ternyata mampir juga ke tempatnya Lik Adi warung Nganggo Suwe di simpang Giwangan-Tegalgendu Kotagede, kalau nasi bakar dan angkringan di situ memang pas untuk lidah orang Yogya yang manis dan serba bacem. Nasi bakar warung Pak Slamet di dekat situ Jl Tega Turi seberang Jogja Fish market juga enak mas.

  20. Ngabehi Sak Loring Pasar

    @ Pak Rendra

    Pak saya sudah email no kontak saya.

    Pak Rendra, jebule Wongeres kuwi selain jago ngonthel, juga jago mangan.

    Dalidul Lidalinak. Sing mangan katon penak nganti lali omah.

    • Wah, kalau Opoters habis ngonthel tahunya cuma enak dan enak banget, Pak Bei.

      Lagian Opoters itu semua serba kecukupan. Apa-apa duwe. Sing ora duwe mung wareg karo isin. Hahaha… Nggak kenal kenyang dan nggak kenal malu, sebuah perpaduan sempurna.

  21. Ngabehi Kiduling Mesjid

    Saiki akeh wong podho seneng manganggo sandangan lan kendaraan cara biyen. saktleraman iku wujud kangene wong2 nusantara marang jaman sing isih adem ayem biyen. Uga bangsa indonesia bersiap2 bertiwikrama budaya, mangga lur diuri2 budaya bangsa sing adiluhung.
    salam atiq, salam spiritual
    rahayu

  22. Ngabehi Sak Loring Pasar

    Sing penting ra ngisin-ngisini…. hehehe

  23. saya kok sampai lupa lho mas Wong nek Ndalem Nugrohoningratan raja kuliner….hehehe, mhn ampun Mas Sahid…
    Mas Bei, mtr nuwun emailipun, mangke mados wekdal ingkang sae pon kliwonipun dhawah ongko pinten njih…
    salam

  24. @ Rendra
    Wah Beliau ini saking asyiknya menjenguk Adinda Fongers DZ di Sedayu terus sampai lupa dengan sobat-sobatnya he..he..he..

    Sebetulnya, kalau ingin lebih sensasional, ada juga masakan “Belalang Pohon Jati” di Warung Nasi Merah Mbok Jirak di Wonosari. Tapi memang terlalu jauh, sulit dijangkau dengan onthel.

    Saya sebetulnya pengin coba Kripik Laron, tapi sekarang kok jarang ada yang jual, kalau jaman tahun1970-an waktu itu masih banyak.

  25. @mas Sahid……….. wkt itu memang di jogja hanya base camp saja tp aktivitas saya di Purworejo dan Magelang… jd saestu bukan lupa dgn sobat sobat baik di Jogja mas…..heheheh.
    Saya sempat kontak gus Towil tp sdh hr terakhir menjelang pul ke Karawang, jd ya cuma ngobrol lewat tilp saja..
    nah kalau persoalan peyek laron…….. bener mas Sahid…sya juga merindukan gurihnya… kalauada info mhn dibagi njih mas, hanya biasanya laron memang keluar jelang musim hujan…
    salam onthel kuliner

    • Jebul Mas Towilnya sendiri juga lagi sibuk nyawang H60 di Sedayu. Wah, jiaaan, virus Karawang benar-benar cepat menyebar, meskipun hanya lewat telepon.

  26. Ngabehi Sak Loring Pasar

    @ Wongeres, Pak Sahid, Pak Rendra, Bung Max’s, Zadel Retak, mas Erwin, dan lain-lain.

    Faktor keselamatan dan keamanan saat bersepeda harus menjadi perhatian yang paling dan sangat utama. Selain itu, kelayakan sepeda saat digunakan, apakah remnya bekerja dengan baik, dan sebagainya.

    Memilih rute jalan yang aman demi keselamatan harus juga dipertimbangkan dengan masak-masak. Terlebih lagi bila bersepeda sambil membawa anak-anak.

    Tragedi yang terjadi di Sumedang belum lama ini jangan sampai terulang lagi. Semoga.

  27. Betul mas Bei, mestinya tiap komunitas ada mekanik yg dampingi saat ada touring, bilamana perlu tiap komunitas menetapkan standard layak jalan bagi tiap peserta touring…semacam uji kir … an dikeluarkan surat laik jalan… semua bukan utk membuat ribed tetapi demi keselamatan kita semua…
    bravo onthel

    • Yang juga penting adalah, mempertimbangkan kesesuaian ukuran sepeda, karena kesesuaian ukuran merupakan salah satu faktor penting yang berhubungan dengan kenyamanan dan keamanan berkendara.

  28. Hidup memang indah kalau kita memang mau bikin hidup itu indah.
    Rasa penat setelah hari2 sebelumnya sibuk bekerja terbayar sudah. Sosialisasi dan bermain memang sudah menjadi hal yang pokok bagi manusia. Terbukti dari penuhnya tempat tempat angkringan seperti “nganggo suwe” ini. Ngobrol ngalor-ngidul dengan sesama angkringers memang mengasyikan, sehingga kadang bisa terbentuk suatu komunitas tersendiri berangkat dari sini.
    Atribut yang kita pakai, ada yang kalungan sarung , jaket’an, sampai ada yang kaos kaki’an segala demi melampiaskan hasrat untuk menjadi Jiwa yang sehat ( entah raganya..) tanpa masuk angin dan kedinginan. Yang menjadi kesamaan jelas.. kita semua menggunakan pit onthel yang telah di lengkapi dengan lampu ( ceritane tertib gitu loh.. ).
    Kali ini memang rada ga jelas antara pit-pit’an dengan nge-pit. Mungkin ada yg bisa memberikan penjelasan lebih detil, monggo…
    Tongseng Keongnya mak nyossss…

  29. Bagus Kurniawan

    Bung Opoto, frame sepeda heren dengan kode/seri WF tertulis di keni depan kiri diatas fork, terus nomornya ada di bawah sadel kiri 6 digit, merk apa, Mas. Saya lihat di Pasar Sepeda Purwodadi hari ini.

    • We… lhadalah. Mas Bagus sudah sampai Purwodadi. Sudah mampir garang asem atau ayam noroyono di dekat situ?

      Sepedanya seperti apa Mas? Fork belakang besar mirip milik Fongers BB? Apakah mungkin Sunbeam? Gir depannya SSSS?

  30. Ngabehi Sak Loring Pasar

    Raa ono bedane mas Erwin, podo-podo marake ngelih alias kencot. Sing penting nongsenge kuwi lo mas marake ngiler hehehe…

  31. wah di kota purwodadi…nggubug.. wirosari..ngaringan..mash banyak pendeman onthel premium lho mas Bagus…. di kropak juga konon masih ada…termasuk ledheke ayu ayu hahaha…
    lha nek garang asem yo disitu yg paling nyoosss…
    sweeke…wawha… kalau boleh juga nylekamin tenan rasane mas….

    • Pak Rendra, tapi di Purwodadi itu jalannya saja dicor, lha nanti jangan-jangan bel sepedanya juga dilas ke stang? 😀

      Kalau suka tayub ya nyabrang sedikit ke Pati. 🙂

  32. mas Wong mbok jgn ngledek yg sudh terledek to……. mas Maxs…helep….
    dulu jaman jahiliyah sih seneng juga mas nonton Tayuban sampai ke Pucakwangi dan sekitarnya………hehehe…
    tp dulu favorite yg ledhek dari desa Kropak, Wirosari….katanya nek nglirik karo mesem…gunung jugrug, segoro asat…wuiihhh…

    • Lha sekarang kan malah tinggal duduk manis di kursi “VVIP” yang disediakan justru sebelum tayub dimulai. Tepatnya, sejak prosesi lukar jeans dengan kain kemben 😀

  33. Ngabehi Sak Loring Pasar

    Waaduh, pak Rendra jebule ki ora mung pinter buru pit lawas, juga berpengalaman lan jeli ndeleng ledhek sing ayu-ayu. Aku melu pak nek arep tayuban maneh… hehehe.

  34. Ngabehi Sak Loring Pasar

    Setali tiga uang karo Pak e Tole Wongeres, nek ndeleng barang sing kinclong ga mau ketinggalan. Pikirane ojo ngeres loh Pak e Tole

  35. ketemu lagi pak…., betul marai ngeces cerita perjalanan temen2 opoto…. sore2 ngontel angin semilir…. tapi kan gag marai masuk angin… wong sudah digrujug jahe anget… sampai rumah ngrendem kaki pake air anget diberi upo karo uyah…. dijamin nggregese ilang.

    • Hehe… Kirain kalau lidah sudah terbiasa dimanjakan di resto-resto mewah lalu tidak tertarik menu ndesit. Eh, ternyata menu angkringan masih bisa ngangeni juga.

      Gudheg dan ayam ninit juga masih suka kangan, Pak? 🙂

  36. waaah …saya tidak membayangkan,,,bersepeda malam hari,harus pakai lampu juga depan belakang. Saya jadi ingat ketika saya masih SD,SMP…bapak saya kalau tindak kemana mana juga naik sepeda ( karena kagungane cuma itu …),juga di malam hari lampu dengan dinamo yang di tempelkan pada roda.

    • Bunda Dyah, sebuah kehormatan Bunda sudi mampir di blog kami yang ndesit, kadang nakal, tapi semata untuk memerdekakan diri agar tetap jujur dan kreatif ini.

      Rupanya Bunda punya kenangan dengan sepeda onthel juga. Sebagai noktah kecil di peta Jogja, Opoto dengan support teman-teman ini tetap semangat lho Bunda. Kami ingin berkontribusi mengembalikan onthel sebagai bagian penting dari denyut kehidupan Jogja. Nuwun.

  37. mas Wong……… dulu kenikmatanya justru bkn di kursi VVIP g sdh cemawis tp pada saat hunting.. seperti penjenengan nek hunting Fongers bahanan…. nek wis entuk part yg kurang rasanya mak plong gitu …hehehe
    @ mas Bei…itu pengalaman jaman jahiliah dulu kok, barwng karo mas wong mung bedo nggon …
    sekarang sih gak sanggup mas..hehehe
    Semua itu namung goyonan lho, bukan beneran…

  38. Mas Wong, Saya ada kerjaan di daerah Pulo Kulon antara Tawangharjo-Wirosari sampai Jumat besok. Hari pertama datang sudah disuguhi Tayuban. Memang banyak yg istimewa tapi kata Pak Kades di Pulo Kulon yg bagus-bagus seperti Gazelle, Simplex sudah banyak ke ambil bakul dari Kudus, Solo dan Surabaya. Sepedanya hanya mentahan ada di Pasar Purwodadi, fork depan, setang sudah diganti, spatboard mirip Fongers. Gear-nya juga sudah diganti model Royal.

    • Mas Bagus, coba lihat fork belakangnya. Di bagian bawah apakah ada jendholan dan lubang tempat tangkai spatbor? Apakah di sambungan supitan belakang ke as tengah juga ada keni dobel seperti Fongers?

      Kalau di sekitar Bledhug Kuwu banyak sepeda dengan rem tusuk. Roda depan tanpa spatbor, trus ngeremnya ditusuk pakai tumit beralaskan sandal jepit. Haha…

  39. bel di las di stang. Ehmmm…mengingatkanku pd simplex nya sapa ya…:-D

  40. Walah..walah….
    macan udah tidur pulas kok ya masih di “ithik-ithik” lho…..
    nagsib…nangsib……. glekkkk… hik..hik..hik…

  41. Wah, selalu ada yang kejutan…itulah kenapa opoto bisa punya differensiasi dari blog lainnya..kemampuan mengemas dan menampilkan sesuatu patut diacungi 4 jempol (lha wongeres kuwi ahline)….make over, poles, ….

  42. wongeres, Pimp my Ride dooong.

  43. di wirosari juga banyak rem botol lho mas…tp nek bel kring dilas ke stang …very rare…. sangat susah nyarinya….hahaha.. ampyun mas Maxs..

  44. ooooowalaaaaaahhhhh…
    cycloidku sayang, cycloidku malang…

  45. Banjir cycloide belum berakhir. Satu lagi datang ke Potorono: cycloide-22 tromol! Sayang pemiliknya tidak pernah komentar lagi di blog ini. Siapa hayo???

  46. Ngabehi Sak Loring Pasar

    Bapak-bapak seneng ngonthel gayengmen obrolannya.

  47. @ OPOTER’s
    usul nich …pas waktu bulan puasa besok, kita touring onthel-nya malem aja habis sholat tarawih… karena tujuan kita terbatas, jadi tema-nya “culinary tours” aja nich… untuk rute, kita serahkan aja ke ahlinya (Mr.Sartono)…..percaya dech….mesti pilihan rute-nya EXOTIC abisssss…

  48. Mas Rendra, betul di pasar Grobogan masih banyak varian Fongers rem botol hingga PFG sayang banyak nggak lengkap. Kalau mau cari frame mentahan ada. Sayang kalah keduluan sama pengepul. Saya hanya pulang bawa Botol, Kecap Tjap Udang Asli Purwodadi. tugas sekalian kulinernya memang eunak tenan. Salam Kenal Mas Rendra.

    • Mampir garang asem Sumberlawang? Pas sedap-sedapnya itu kalau siang Mas. Kalau pagi bumbunya belum mantep karena baru masak. Kalau malam suka keasinan karena sudah dipanasin berulang-ulang. Hehe…

      Kecap Purwodadi memang terkenal. Bahkan tutup botolnya pun jangan dibuang, karena kalau masuk angin bisa buat kerokan. Dijamin cepat merah 😀

  49. gimana kl simplex2nya OPOTO bel nya dilas di stang smua. Gubrak…:-D

    • Ternyata style las-mengelas itu memang ada. Mas Tono kemarin nemu Humber dames yang handle prosnelingnya dilas ke stang juga. Bwahaha…

  50. mas Bagus salam kenal kembali,..kalau penjenengan msh di Purwodadi dan pirso ada setang BB nitip satu njih, sama gir obat nyamuk buat sahabat saya di Potorono…. oya stangnya mhn jgn ambil yg belnya di las ke stang….hehehehe…nuwun

  51. mas Wong baru kali ini kayaknya blog Potorono kerawuhan piyantun putri… alhamdulillah…sugeng rawuh ibu Dyah…
    wah bakalan tambah rame tamunya mas..
    mas Maxs..ojo rusuh lho mature…hahaha

  52. Oke Mas Rendra, Senin besok saya ke Purwodadi lagi, kerjaan belum selesai. Pasti aku carikan belehannya, ternyata di Pasar Grobogan juga ada spesialis nyembelih sepeda atau pengepul Solo. Kalau dapat Stang BB dan Gir obat nyamuk Asli nanti ku selamatkan dulu. Kali-kali dapat frame-nya juga

  53. @om erwin
    belnya di las disetang????? walaaah… yen iki brilian tenannn, apalagi biar aman sepedanya ya di las di tiang telpon yach…haaa…haaa..haa (sekalian ra kanggo gawe dab…)

    @om wongeres
    memang budaya nge”las” baru trend yach… usul kalau semua sepedanya dijadiin satu kayak “kereta kelinci” gimana???? piyeeee om… enak to.. manteb to…. haaaaaa…..haaaa…haaaaa….. tak gendong…

    @ om rendra
    menawi pados setang kangge fongers BB sampun angel, mbok sampun rencangipun kapurih gantos “setang becak” kemawon…daerah ngayogyakarto taksih kathah sanget kok… haaaaaa….haaaaaaa…. ampuuuuun om rendra..ampunnn..

    @ om zadelretak
    inggih…… dalem ngestokaken dhawuh koko prabu…. heee..hee..heee….

  54. nuwun mas Bagus..kalau ada sak remnya semua..tenan lho iki.
    mas maxs..rem becak yg pakai stang cyclo ada ga ya hehehe.. mauuu dong..

  55. @ Wongeres & Opoters

    Mewakili Kerabat Podjok, kita mengajak Opoto, Pory dan JOC untuk bersama-sama sebagai kawanan onthelis Jogja menyelenggarakan acara bendera 17-an ala onthel. Saat ini belum ada rencana pasti meskipun ada rerasan upacara bakal digelar di Benteng Vredeburg, mohon saran dari kamerad-kamerad Opoto. Nuwun.

  56. Bagus Kurniawan

    Pak Sahid, kalau boleh usul jangan di Benteng Vredeburg, krn Gedung Agung dipakai upacara 17-an juga, nanti ribet urusan sama pihak keamanan. Gimana kalau di Museum Perjuangan atau halaman TMP Kusumanegara saja.

  57. @ Bagus Kurniawan
    Terima kasih atas masukannya, nanti saya sampaikan ke Kang Towil cs., kalau tahun 2007 di Museum Jendral Sudirman Bintaran, tahun 2008 di Museum Perjuangan, nah tahun 2009 ini rencananya di Benteng Vredeburg. Nuwun.

  58. Ping-balik: Gudheg Pawon: Kejarlah Gudheg, Walau Sampai ke Dapur! « Onthel Melintas Zaman

  59. hasti nugraheni

    angkringan nganggo suwe atau aq nyebutnya angkringan lik adi memang top…puyuh goreng dan tongseng keongnya bikin kangen….

    • Selamat datang di blog ndesit ini. Rupanya penggemar kuliner kelas onthelis juga ya.
      Sebenarnya ada nama keren warung warisan Lik Adi ini, yaitu: LA! 🙂

Tinggalkan Balasan ke Bagus Kurniawan Batalkan balasan